TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - M. Chatib Basri, Menteri Keuangan era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan lebih baik dari tahun lalu.
“Pertumbuhan itu didukung oleh ekspor komoditas dan energi,” ungkapnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/3/2018).
Menurutnya, 60 persen ekspor Indonesia terdiri atas komoditas dan energi.
Saat ini, harga energi seperti batu bara dan komoditas seperti minyak sawit di pasar dunia melonjak. “Ini akan menguntungkan Indonesia,” cetusnya.
Harga batu bara dan minyak sawit yang tinggi, kata Chatib, juga akan memicu pertumbuhan konsumsi, terutama pada masyarakat di sekitar tambang batu bara dan kebun kelapa sawit.
"Apalagi tahun 2018 ada Pilkada di 171 daerah di Indonesia, sehingga tingkat konsumsi masyarakat pun akan naik. Konsumsi yang naik ini juga menunjang pertumbuhan ekonomi,” terangnya.
Harga Batubara Acuan (HBA) periode Maret 2018 menyentuh titik tertinggi sejak enam tahun terakhir.
Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 1320 K/32/MEM/2018, HBA periode tersebut mencapai US$ 101,86 per ton.
Kementerian ESDM pada Maret 2018 juga menetapkan Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Nabati (BBN), meliputi biodiesel dan bioetanol, yang mengalami kenaikan.
Tarif biodiesel ditetapkan sebesar Rp 8.161 per liter, atau naik Rp 199 dari Februari 2018, yakni Rp 7.962 per liter.
Harga tersebut masih belum termasuk perhitungan ongkos angkut, yang berpedoman pada Keputusan Menteri ESDM No 2026 K/12/MEM/2017.
Kenaikan HIP biodiesel ditopang oleh harga rata-rata minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) sepanjang 25 Januari hingga 24 Februari 2018 sebesar Rp 8.029 per kg. Harga ini lebih tinggi daripada periode sebelumnya, yakni Rp 7.810 per kg.
Harga rata-rata CPO ini menjadi dasar perhitungan HIP biodiesel, sesuai ketentuan Surat Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) No 1179/12/DJE/2018.
Kenaikan terjadi pula pada HIP bioetanol. Harga pasar bioetanol diplot Rp 10.083 per liter oleh pemerintah, naik Rp 24 dibandingkan Februari 2018, yakni Rp 10.059 per liter.
Dalam APBN 2018, target petrumbuhan ekonomi dipatok 5,4 persen, sementara pertumbuhan ekonomi 2017, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebesar 7,07 persen atau tertinggi sejak 2014.
“Tahun ini pertumbuhan eonomi akan lebih baik dari tahun lalu. Apalagi ada bonus demografi,” tegas Chatib yang juga mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM).
Namun, menurut Chatib, idealnya pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6-7 persen, agar menjadi negara yang kuat secara ekonomi pada 2030-2045.
“Ini kalau kita ingin ‘kaya sebelum tua’, karena bonus demografi Indonesia akan hilang pada 2060. Bila pertumbuhan ekonomi tidak mencapai 6-7 persen, Indonesia bisa ‘tua sebelum kaya’,” paparnya.
Bukankah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini tembus US$ 1 triliun, sehingga Indonesia akan masuk 15 negara terbesar perekonominnya di dunia? Chatib mengapresiasi hal itu.
“Namun itu tidak mengejutkan, karena pada 2012 semasa saya menjadi Kepala BPKM, PDB sudah hampir mendekati angka US$ 1 triliun,” cetusnya.
Tekait utang Indonesia yang sudah menembus angka Rp 4.000 triliun, Chatib juga menilai masih aman.
"Soal utang, jangan lihat nominalnya. Tapi lihatlah kemampuan Indonesia untuk membayar,” tukasnya.
Apalagi, lanjut Chatib, utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif, yakni pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.
“Kalau banyak membangun infrastruktur kemudian banyak utang, ya wajar toh? Yang penting Indonesia mampu membayar. Memang pembangunan infrastruktur itu hasilnya baru bisa dipetik 5-10 tahun kemudian. Makanya kita harus ketat dalam menjadwalkan pembayaran utang supaya tidak jebol. Mamun secara umum kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih aman," tandasnya.