Gappri menilai salah satu sebab meningkatnya rokok illegal dan menurunnya produksi rokok adalah karena tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai yang tinggi di atas tingkat kemampuan beli masyarakat.
Perdagangan rokok illegal selain mengganggu stabilitas industri rokok, juga mengganggu penerimaan negara.
Dia mencontohkan, di Malaysia karena tarif rokok yang mahal membuat rokok ilegal kian banyak. Hal ini juga dialami di kota New York, Amerika Serikat.
''Bila rokok ilegal makin banyak maka pemerintah juga tidak dapat penerimaan,'' pungkasnya.
Ismanu menegaskan, para pengusaha sangat memperhatikan setiap kebijakan karena akan berdampak pada tenaga kerja dan biaya operasional yang semakin berat. Belum lagi, setiap kebijakan cukai akan membuat pengusaha tertekan sehingga bisa berdampak terhadap PHK.
"Yang kami pikirkan adalah Angkatan Kerja. Kami menjaga agar Jangan sampai ada PHK gara-gara PMK 146. Sesuai surat GAPPRI kepada Menkeu tertanggal 23 April 2018, kami mohon pemberlakuan PMK 146 ditangguhkan, status quo dulu," tegas Ismanu.
Permintaan agar status quo, berdasarkan kondisi pasar yang sangat lesu, di mana keseluruhan penjualan menunjukkan penurunan cukup signifikan.
Kemudian, kondisi ekonomi di berbagai bidang mengalami penurunan, dan saat ini sebagian besar industri termasuk industri rokok lebih memilih bertahan dari dampak yang lebih besar daripada melakukan pengembangan.
"Masih maraknya peredaran rokok ilegal, meskipun berbagai upaya yang dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan industri, terus digalakkan," tandas Ismanu.
GAPPRI juga berharap agar Kemkeu mereview atas penyamaan klasifikasi golongan kretek dan rokok putih dalam PMK No 147/PMK.010/2017 dan PMK No146/PMK.010/2017 ini tidak dilaksanakan di tahun 2019.
Tak kalah penting, mengekstensifikasikan barang kena cukai di luar produk rokok, supaya beban industri rokok dapat diturunkan, dan ruang fiskal yang bersumber dari penerimaan cukai masih bisa diperluas.