Sialnya lagi, kata Eman, kebanyakan dari generasi milenial yang telanjur punya gaya hidup mewah dan berkantong pas-pasan ini maunya bertempat tinggal di apartemen di tengah kota. Padahal penghasilannya tidak akan mampu mencicil atau sekadar membayar uang mukanya saja.
“Pertanyaannya, apakah generasi milenial ini mau menurunkan sedikit saja gengsinya itu untuk membeli rumah di pinggiran kota,” tuturnya.
Menurut Eman, pemangku kebijakan dan pelaku usaha pembangunan perumahan harus memikirkan upaya penyediaan fasilitas hunian dengan pola kepemilikan bagi generasi milenial.
Pelaku usaha pengembangan perumahan harus membuat inovasi dengan menyediakan hunian seharga Rp 400 juta-an hingga Rp 600 juta-an bagi generasi milenial. Hitungannya, rumah seharga itu dapat dibeli dengan cara mencicil kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan selama 15 tahun.
“Itu untuk generasi milenial dengan rerata penghasilan Rp 18 juta per bulan karena asumsi maksimal cicilan KPR adalah sepertiga gaji,” kata Presiden Federasi Realestat Dunia (FIABCI) Regional Asia Pasific ini.
Lalu, bagaimana dengan generasi milenial yang penghasilannya di kisaran Rp 8 juta-an?
“Rata-rata penghasilan generasi milenial yang baru menyelesaikan pendidikan dan baru mulai bekerja adalah Rp 8 juta-an. Untuk kelompok ini harus disediakan fasilitas KPR dengan cicilan Rp 2,5 juta per bulan,” pungkasnya.