Laporan Reporter Kontan, Dikky Setiawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan, setiap tahun area persawahan diprediksi terus berkurang. Di sisi lain, program pencetakan sawah baru yang dilaksanakan Kementerian Pertanian (Kementan) tidak mampu mengatasinya.
Padahal, pengecekan melalui citra satelit beserta verifikasi lapangan juga ditujukan untuk mengecek benar-tidaknya klaim Kementan akan realisasi luasan cetak sawah.
Vevin S Ardiwijaya, Kasubdit Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian Kementerian ATR/BPN menegaskan, untuk mencegah pengurangan lahan tidak bisa hanya lewat program cetak sawah.
Apalagi, pada tahun depan diperkirakan lahan sawah di Indonesia bisa berkurang kembali sampai 1,4 juta hektare. "Ini saja yang dari hasil terbaru 2018 seluas 7,1 juta hektare (ha) dari citra satelit. Tapi ke depannya diprediksi bisa berkurang lagi sampai 20%," ungkap Vevin, Selasa (4/12/2018).
Baca: Enam Perbedaan Aksi 212 di Era Gubernur Ahok dan Anies Baswedan
Pengurangan yang cukup signifikan tersebut dikarenakan dari hasil verifikasi langsung ke lapangan ditemukan banyak lahan sawah yang sudah memiliki izin alih fungsi. Ada yang berubah menjadi mal atau bangunan lain.
"Idealnya memang setiap tahun dicek terus. Alih fungsi ini kan kencang sekali untuk lahan pertanian," imbuh Vevin.
Baca: Main di Film Horor Ini Benar-benar Bikin Jessica Mila Lemas Lebam
Ke depan, BPN akan fokus menggarap rancangan peraturan presiden guna mempersulit alih fungsi lahan. Pertama, untuk bisa efektif berproduksi, cetak sawah memerlukan waktu yang sangat lama. Lahan sawah baru tersebut diperkirakan baru bisa berfungsi dalam jangka waktu 5—10 tahun ke depan. Jadi, kata Vevin, tidak bisa buka sawah terus langsung bisa produksi 2—3 kali setahun.
Saat ini, lanjut dia, Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim program cetak sawah mampu menghasilkan sekitar 60.000 ha sawah baru tiap tahunnya.
Dengan program yang dimulai dari tahun 2013 ini, jika dikalkukasi artinya diperkirakan sudah mampu menghasilkan sebanyak 300.000 ha dalam 5 tahun terakhir. Namun, realisasinya tidak demikian.
"Harus diingat, klaimnya berdasarkan dana yang dikeluarkan Kementan yang dikasih ke petani dan lain-lain. Kasus di lapangan banyak yang tidak sesuai," papar Vevin.
Faktor dana
Perbedaan luasan sawah baru tersebut diperkirakan karena pihak yang mendapat dana dari Kementan membangun sawah dengan ukuran yang tidak mendetail. Hanya berdasarkan perkiraan.
Di sisi lain, banyak juga ditemukan sawah-sawah baru dari program cetak sawah yang posisinya tidak strategis karena jauh dari masyarakat, di mana sawah sudah tercetak, namun tidak ada petani yang menggarap.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto bin Ashari Prawito menyebutkan, berkurangnya luas baku lahan pertanian sejatinya telah terkonfirmasi dari data yang sudah dirilis pemerintah. Data yang didapat juga menggunakan citra satelit, menyimpulkan berkurangnya areal persawahan.
Diharapkan, tidak ada pihak yang menggunakan data, diluar data nasional tersebut, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan). "Iya, bisa dilihat. Artinya pertahun ada sekitar 120 ha (lahan pertanian yang hilang). Itu bisa dilihat dari data nasional," ujar Hermanto.
Dia mengatakan, data itu diperoleh dari hasil dari kerja bersama tim nasional verifikasi luas lahan baku lahan sawah. Tim beranggotakan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian ATR/BPN, LAPAN, BPS, dan juga Kementerian Pertanian sender.
Badan Informasi Geospasial (BIG) memiliki kewenangan untuk membuat peta berbasis spasial, yang diklarifikasi oleh satelit LAPAN. Setelah itu, dilakukan groundcheck sample. Setelah peta tersebut jadi, kemudian di SK-kan oleh Kementerian ATR/BPN.
Pendapat senada diungkapkan Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS). Dia bilang, pihaknya akan berpegang teguh pada data luas baku sawah terbaru yang diperoleh melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA). Ia pun mempersilakan Kementerian Pertanian jika ingin menghitung luas sawah secara mandiri.
Namun, hasil yang keluar dari institusi tersebut tidak akan digunakan sebagai acuan. "Kami akan tetep mengacu pada data yang memiliki kekuatan hukum yakni yang dihimpun Kementerian ATR, Lapan dan BIG," ujar Suhariyanto.