Laporan Reporter Kontan, Merlinda Riska
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pecinta masakan warung tegal alias warteg, khususnya yang berada di Jakarta tentu tidak asing dengan nama Warteg Kharisma Bahari. Maklum, warung tegal milik Sayudi ini ada di mana-mana. Berkat kegigihan Sayudi, jumlah cabang Warteg Kharisma Bahari kini mencapai 197 outlet.
Sudah begitu, Warteg Kharisma Bahari beda dengan warteg kebanyakan. Warteg yang berdiri 1996 silam ini mengusung konsep digital untuk pembayaran. “Kami juga mengandalkan mutu bangunan warteg yang bagus dan bersih. Kami pelopor warteg bersih,” kata Yudi, panggilan sehari-hari Sayudi.
Bukan cuma itu, Warteg Kharisma Bahari merupakan pionir waralaba warteg. Dari 197 cabang yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya, hanya sekitar 10 warung milik Yudi. Sisanya kepunyaan para mitra.
Saban bulan, dari para mitra, Yudi mengantongi bagi hasil sedikitnya Rp 2 juta. Itu berarti, total bagi hasil yang mengalir ke kantong Yudi minimal sebesar Rp 374 juta per bulan. Sebab, “Ada juga yang Rp 3 juta per bulan, Rp 5 juta, Rp 10 juta juga ada,” imbuh pria kelahiran Tegal, 21 Juli 1973, ini.
Hanya, sebelum sukses membangun kerajaan bisnis Warteg Kharisma Bahari, Yudi harus berjuang dulu. Awalnya, ia membuka kios rokok di Pulo Gadung, Jakarta Timur, selama tujuh tahun.
Sang kakaklah yang mengajaknya merantau ke Jakarta pada 1988 silam. “Kakak saya yang sudah punya warteg menawarkan saya untuk ikut buka usaha. Kebetulan, di sebelah wartegnya ada kios rokok yang kosong,” ujar Yudi yang hanya tamatan sekolah dasar.
Sebelum pergi ke Ibu Kota RI, selepas lulus dari bangku sekolah dasar, Yudi membantu orangtuanya bertani bawang merah. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini memilih tidak meneruskan sekolah, demi membantu orangtua.
Setelah tujuh tahun dagang rokok, Yudi ingin mengubah nasib dengan membuka warteg. Apalagi, sang istri sebentar lagi melahirkan.
Tapi, ketika itu ia tidak punya modal sepeser pun. “Lalu, mertua bilang, akan bantu dengan cara gadaikan sertifikat rumahnya ke bank. Akhirnya saya punya modal untuk buka warteg,” ucapnya.
Modal hasil pinjaman mertua sebesar Rp 6 juta masih kurang untuk membuka warteg. Karena itu, Yudi berkongsi sama temannya dengan sistem aplusan.
Maksudnya, tiga bulan pertama dia yang menjalankan warteg. Tiga bulan berikutnya, giliran sang teman yang mengelola. Begitu seterusnya.
Lokasi warteg itu di dekat kantor Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. “Saat teman saya yang masuk, saya kembali dagang rokok,” katanya.
Dapat ilham
Sebagian keuntungan dari usaha warteg dan kios rokok, Yudi kumpulkan untuk membuka warteg sendiri tanpa kerjasama dengan orang lain. Angannya terwujud, ia mendirikan warteg di daerah Pangeran Antasari, Jakarta Selatan.
Bahkan, mertuanya ikutan bergabung lantaran usaha wartegnya gulung tikar. “Yang memasak istri saya. Mertua saya bisa bikin warteg juga, karena istri saya. Soalnya, istri saya sempat ikut orang bekerja di wartegnya,” beber Yudi.
Waktu itu, kedua wartegnya belum memakai nama Warteg Kharisma Bahari. Warteg di Cilandak bernama Warteg MM, yang merupakan singkatan dari modal mertua. Sedang yang di Antasari, namanya Warteg Akrobu, yang Yudi ambil dari nama guru spiritualnya.
Kemudian, dia buka warteg yang ketiga. Lokasinya, di warteg pertama yang tutup karena kerjasama dengan sang teman berakhir.
Di sini, ia mulai menggunakan nama Warteg Kharisma Bahari. “Nama Kharisma dari hati, tiba-tiba dapat ilham saja. Sejak pakai nama Kharisma, tiap tahun cabang saya tambah,” ungkap Yudi.
Untuk pengelolaan cabang, Yudi menyerahkan ke karyawan. Tapi ternyata, terjadi kebocoran: pengeluaran lebih besar tapi pemasukannya lebih sedikit dibanding warteg yang ia kelola sendiri. “Akhirnya saya kepikiran, daripada saya stres buka cabang seperti ini, lebih baik merekrut saudara sendiri dan teman,” ujar dia.
Yudi menerapkan bagi hasil dalam kerjasama ini. Meski begitu, modal seluruhnya dari Yudi. Dalam kongsi itu, keuntungan dibagi dua, antara Yudi dengan saudara atau temannya yang menjalankan cabang Warteg Kharisma Bahari.
Dalam perjalanannya, para pengelola cabang warteg milik Yudi berhasil mengumpulkan uang dari bagi hasil itu. “Mereka bilang ke saya, kami, kan, sudah punya modal, bisa enggak kami kayak Mas Yudi, punya warteg sendiri, dan tolong carikan kami lokasi,” beber Yudi.
Yudi pun menyanggupi permintaan tersebut. Ia mematok harga Rp 100 juta. Mitra mendapat paket komplet, mulai peralatan dapur, makan, etalase, renovasi warung termasuk dua kamar tidur dan kamar mandi, hingga televisi, tapi belum termasuk sewa tempat.
Sejak itu, cabang warteg Yudi terus bertambah. Sebab, saudara dan teman para mitranya juga ingin punya warteg sendiri seperti mereka. “Ini jadi iklan berjalan saya,” ujarnya.
Perkembangan cabang wartegnya semakin pesat pasca Yudi bertemu teman lamanya yang bekerja sebagai guru. Sang kawan menyarankannya untuk membuat website yang berisi penawaran waralaba Warteg Kharisma Bahari. “Jadi, saya bisnis begini, sebetulnya tidak sengaja,” sebut Yudi.
Saat ini, tarif waralaba untuk warteg ukuran sedang Rp 110 juta, belum termasuk sewa tempat. Untuk sumber daya manusia (SDM), baik pengelola, tukang masak, maupun pelayan, semua Yudi yang pilih.
Untuk pengelola atau yang bertanggungjawab terhadap operasional warteg, Yudi mengatakan, harus suami istri.
Sementara karyawan yang berjumlah dua sampai tiga orang, bisa yang belum berkeluarga. “Semua SDM ini saya datangkan dari kampung saya di Tegal. Jadi, saya kenal ataupun rekomendasi dari orang yang sudah saya kenal,” ungkap dia.
Konsep digital
Memang, dengan menyerahkan pengelolaan ke orang lain, Yudi menuturkan, tidak ada jaminan enggak terjadi kebocoran. Apalagi, sistem yang ia pakai hanya berlandaskan kepercayaan.
Dia pun mengakui, ini jadi kelemahan. “Tapi, kami upayakan SDM yang sudah dapat rekomendasi dari kenalan kami juga teman kami. Saya dari awal sudah ngomong ke calon mitra, sistemnya adalah sistem kepercayaan,” tambahnya.
Tapi, kalau ada mitra yang ingin mengelola sendiri, Yudi membuka opsi itu. Perekrutan SDM jadi tanggungjawab mitra. Meski begitu, “Tetap kami training dulu, kami ajari cara memasak, menyajikan, dan kerja di warteg,” imbuhnya.
Dan jangan heran, jika di satu wilayah rukun warga (RW) bisa ada lima cabang Warteg Kharisma Bahari. Semakin daerahnya ramai, maka semakin banyak cabang di kawasan itu.
Soalnya, Yudi menyebutkan, orang datang ke warteg dengan satu tujuan: makan karena lapar. Beda sama restoran. Orang menyambangi restoran belum tentu lantaran lapar.
Nah, daya jual kemitraan semakin bertambah setelah Warteg Kharisma Bahari mengusung konsep digital sejak tahun lalu. Yudi berkerjasama dengan Bank DKI untuk pembayaran nontunai. Kongsi ini berjalan Oktober 2017.
Sistem pembayarannya dengan memindai (scan) barcode. Si pembeli mesti punya aplikasi JakOne Mobile. “Misalnya, dia makan senilai Rp 15.000, langsung scan barcode saja. Duitnya nanti masuk ke rekening saya. Barcode ada di etalase tempat lauk pauk,” jelas Yudi.
Selain Bank DKI, Yudi juga bekerjasama dengan Bank CIMB Niaga untuk pembayaran nontunai yang akan bergulir Desember nanti. Bentuk kongsinya berupa mesin electronic data capture (EDC).
“Jadi, pakai kartu debit atau kredit bank apapun bisa bayar. Warteg yang kerjasama akan dapat fee, sebulan bisa dapat fee Rp 200.000– Rp 300.000,” sebut dia.
Tetapi, menurut Yudi, belum seluruh cabang Warteg Kharisma Bahari menerima pembayaran nontunai. Sebab, ia tidak memaksa semua mitra untuk mengusung konsep ini.
Sebagian cabang, Yudi menambahkan, juga memiliki fasilitas Wi-Fi gratis. “Wi-Fi ini bisa berfungsi untuk para karyawan juga pembeli,” katanya.
Yudi bercita-cita, cabang wartegnya ada di seluruh penjuru Jabodetabek. Cuma sampai saat ini, belum ada satu pun cabang di daerah Jakarta Utara dan Bogor.
Untuk Bogor, ia memang belum tertarik buka cabang di kota hujan itu. Sedangkan di Jakarta Utara belum ada permintaan sejauh ini. Tapi suatu saat, dia bakal menancapkan kuku di dua daerah itu. Yang jelas, Yudi adalah pelopor warteg bersih, waralaba warteg, warteg digital.