News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Indonesia Terancam Defisit Migas di Tahun 2025, Ini Upaya Antisipasinya

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI - Pegawai PT Perusahan Gas Negara (PGN) melakukan pemeriksaan sekaligus sosialisasi kepada konsumen di salah satu rumah makan siap saji, Palembang, Rabu (22/11/2017).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Defisit minyak dan gas (migas) diprediksi akan mulai terjadi pada tahun 2025 hingga mencapai puncaknya pada 2050. Data dari Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB mengungkap bahwa pada tahun 2025 kebutuhan minyak 1,9 juta barel per hari dan produksi hanya 569.000 bph sehingga ada defisit gas sekitar 1,3 juta bph.

Kebutuhan gas pada tahun 2025 sebesar 9,22 bcfd dan produksi hanya 6,80 bcfd, sehingga defisit gas 2,41 bcfd.

Di tahun 2025 nanti defisit akan membengkak, untuk produksi minyak hanya 75.000 bph dengan kebutuhan 3,9 juta sehingga defisitnya mencapai 3,8 juta bph. Sedangkan defisit gas pada tahun 2050 mencapai 24,22 bcfd dengan produksi 1,64 bcfd dan kebutuhan mencapai 25,86 bcfd.

Namun demikian, defisit migas tersebut berpotensi dikurangi dengan modal komitmen kerja pasti sebesar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 31,5 triliun, sebesar US$ 1,1 miliar di antaranya untuk kegiatan eksplorasi.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan saat ini ada dana yang cukup besar untuk eksplorasi, baik dalam maupun luar wilayah kerja minyak dan gas.

“Ini dana yang bisa digunakan untuk eksplorasi 5-10 tahun ke depan. Dana ini kami harapkan terus bertambah,” ujar Arcandra saat Seminar Energi Neraca Energi Indonesia, Suatu Tinjauan Kritis Sektor Migas”  yang digelar Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Selasa (19/2/2019).

Menurut Arcandra, dana eksplorasi saat ini yang berasal dari komitmen kerja pasti dari kontrak-kontrak dengan skema gross split jauh lebih baik dibanding sebelumnya yang hanya sebesar US$ 5 juta. Dana tersebut sangat kecil dengan begitu banyak basin yang belum dieksplorasi.

Selain dana eksplorasi, pemerintah juga berencana memperbaiki dari sisi penggunaan data untuk kebutuhan seismik. Data-data kebutuhan untuk eksplorasi akan dibuka bagi perusahaan-perusahaan yang berminat.

“Data-data akuisisi akan dibebaskan. Karena selama ini, dana PNBP dari akses data hanya sekitar US$ 1 juta. Jadi kita akan revisi Permen Nomor 27 Tahun 2006,” ungkap Arcandra.

Syamsu Alam, Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, mengatakan hingga 2050 kebutuhan migas khususnya minyak secara persentase belum berkurang secara signifikan dan mencapai 2 juta-3 juta barel per hari (bph).

Di sisi lain, jika melihat cadangan Indonesia 3,5 bilion BOE atau hanya 0,2% dari cadangan minyak dunia, sehingga butuh effort luar biasa agar produksi nasional bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Kita harus ingat, produksi minyak saat ini 800.000 itu yang 200.000 bph berasal dari Banyu Urip. Kalau tidak ada Banyu Urip, produksi hanya 500.000-an. Kalau tidak menemukan Banyu Urip lainnya, kita akan menghadapi masalah besar nantinya,” ujar Syamsu.

Menurut Nanang Abdul Manaf, Wakil Ketua Alumni Teknik Geologi ITB, berdasarkan neraca sumber energi primer minyak dan gas bumi 2025 dan 2050, pada 2025 akan ada defisit minyak sebesar 1,39 juta bph dan 2.837 juta standar kaki kubik per hari (MMCFD) gas. Defisit akan makin besar pada 2050, yakni 3,82 juta BOPD minyak dan 24.398 MMSCFD gas. 

Nanang mengatakan ada beberapa langkah untuk meningkatkan produksi dan menutup defisit pada 2025 dan 2050.

Langkah tersebut di antaranya adalah insentif untuk usaha-usaha eksplorasi sebagai antisipasi jangka panjang, percepatan POD/POFD, secondary dan tertiary recovery project (EOR), dan pencarian upside potential di mature field. 

“Selain itu perlu mendorong BUMN migas atau perusahaan energi nasional untuk mencari sumber energi di luar Indonesia,” kata Nanang yang juga Presiden Direktur PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero).

Sementara itu, dalam diskusi panel yang menghadirkan tiga pembicara, yaitu Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, Direktur Hulu Pertamina Dharmawan Samsu, dan Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) Hilmi Panigoro terungkap bahwa energi minyak di Indonesia masih  berperan besar hingga 2050 karena konsumsi yang diproyeksikan terus meningkat   

Menurut Dwi, Indonesia mempunyai 128 cekungan dan yang sudah dilakukan eksplorasi dan eksploitasi baru 54 cekungan. Dari 54 cekungan yang telah dieksplorasi, Indonesia saat ini memiliki reserve sebanyak 3,2 billion barel oil. “Kalau ada giant discovery diharapkan cadangan bisa meningkat,” kata Dwi.
 
Dia menyebutkan gap antara produksi dan kebutuhan menunjukkan ekonomi tumbuh, tentu saja menjadi tantangan untuk menyelesaikan problem yang lain.

Baca: Resmi Meluncur, All New Livina Tawarkan Konektivitas Pintar dan Karakter Kuat Desain Grill V-Motion

“Strategi untuk mengatasi gap yang ada. Di hulu migas, Indonesia bagian barat pada posisi yang mature.  Di timur adanya potensi untuk new discovery untuk ke depannya. Diperlukan pula supporting dan faktor-faktor yang kita harapkan mendukung,” ungkapnya.

Dwi mengatakan, untuk peluang hulu migas Indonesia, pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi. Berbagai angkah dilakukan SKK Migas untk memperbaiki iklmin investasi, yaitu penyederhanaan perizinan dan  peningkatan kegiatan eksplorasi melalui roadshow ke calon investor.

Baca: Yang Baru di All New Ertiga: Tipe GL Sekarang Pakai Foglamp. Tipe GX Gunakan Head Unit Layar Sentuh

“Selain itu,  going east in deep water, kami juga ingin memastikan ketersediaan migas diharapkan berbagai teknologi yang berkembang dapat membantu untuk mencegah risiko bisnis di oil and gas upstream,” katanya. 

Hilmi Pangiroro mengatakan, saat ini Indonesia berada di daerah transisi energi. Transisi energi dari waktu ke waktu selalu berubah. Dari waktu batu bara pindah ke minyak tidak terlalu drastis, hari ini batubara masih banyak dipakai untuk kelistrikan karena murah. Transisi energi sekarang agak berbeda. 

“Ada tiga hal yang harus diperhatikan, pertama lingkungan, begitu keras desakan lingkungan supaya lakukan dekarbonisasi. Kita agreed konvensi di paris. Kedua elektrifikasi. Terakhir teknologi. Paling relevan buat kita adalah storage,” kata dia.  

Dia mengatakan Indonesia jelas dengan asumsi hari ini minyak sampai 2035 masih penting, pertumbuhannya hingga 2,6 persen, selain pertumbuhan konsumsi listrik.  Tahun 2035-2040 kombinasi defisit gasoline ditambah diesel bisa sampai 1 juta barel per hari.  Tapi Jepang-Korea Selatan impor minyaknya relatif stabil. 

“Konsumsi energi yang besar itu good for us, drive the economy. Tapi kita harus produktif. Jadi konsumsi 1 juta barel ini jadi sesuatu yang produktif. Tapi jangan disubsidi, kayak tanda tangan blank check.  Di situlah regulator sangat berperan, kata Hilmi.  

Menurut Hilmi, hulu migas 15 tahun ke depan masih penting, untuk itu Indonesia harus berani berkompetisi. Salah satunya bisa ditunjukkan dengan fiskal term terbaik. “Pertama fiskal harus menarik, kedua harus dihormati sampai akhir kontrak. Ketiga accelerate development. Ini kalau mau naik produksinya,” tandasnya.

Adapun Dharmawan Samsu memaparkan beberapa proyek strategis Pertamina, antara lain Jambaran Tiung Biru dan rencana alihkelola Blok Rokan mulai 2021. 

Laporan reporter: Azis Husaini 

Artikel ini tayang sebelumnya di Kontan dengan judul: Defisit migas membayangi Indonesia tahun 2025, ini upaya pemerintah dan KKKS 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini