TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat dewan gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Maret 2019 memutuskan untuk menahan suku bunga di level 6%. Adapun suku bunga deposit facility dan lending facility juga tetap, masing-masing sebesar 5,25% dan 6,75%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini sesuai dengan tujuan BI untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) ke level 2,5% terhadap produk domestik bruto (PDB). Juga sejalan dengan upaya mempertahankan daya tarik pasar keuangan Indonesia.
"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal," ujar Perry di konferensi pers tentang keputusan rate suku bunga acuan BI di gedung BI, Kamis (21/3/2019).
Berikut beberapa pertimbangan kondisi internal dan global. Dari sisi internal, perekonomian Indonesia masih kondusif.
Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2019 diperkirakan tetap kuat ditopang oleh permintaan domestik. Konsumsi masih tinggi didukung daya beli dan keyakinan konsumen, serta stimulus fiskal melalui belanja sosial dan persiapan pemilu. Kendati demikian, pola musiman investasi sedikit melambat. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tetap pada kisaran 5-5,4%.
Baca: Elektabilitasnya Rendah, Andi Arief Sebut PSI Penebar Kebencian dan Ketegangan Beragama
Nilai tukar rupiah menguat sejalan kerja eksternal yang baik. Rupiah menguat 1,05% poin to poin atau 0,85% secara rata-rata didukung aliran modal asing masuk yang besar. BI memandang nilai tukar rupiah stabil dengan nilai fundamental.
Inflasi turun dan terkendali di sasaran 3,5%. Indeks harga konsumen Februari 2019 deflasi 0,08% secara bulanan atau inflasi 2,57% tahunan. Turun dari inflasi sebelumnya 0,32% secara bulanan dan 2,82% secara tahunan.
Baca: Survei Membuktikan, 76,85 Persen Masyarakat Indonesia Sudah Tahu OK OCE
Sedangkan dari eksternal, BI melihat global masih menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Amerika Serikat (AS) melambat karena berkurangnya stimulus fiskal, turunnya produktivitas tenaga kerja dan melemahnya keyakinan pelaku usaha.
Tiongkok juga diperkirakan melambat karena tertundanya stimulus fiskal dan belum redanya ketegangan perang dagang dengan AS. Sedangkan Eropa mengalami penurunan ekspor karena terbatasnya permintaan Tiongkok, melemahnya keyakinan usaha, dan berlanjutnya ketidakpastian penyelesaian masalah Brexit.
Respon normalisasi negara maju tidak seketat perkiraan semula. Baik bank sentral AS maupun Eropa menyatakan kebijakan yang lebih dovish.
Kendati demikian, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam upaya mendorong ekspor. Namun positif bagi aliran masuk modal asing.
Sementara kebijakan suku bunga dan nilai tukar tetap difokuskan pada stabilitas eksternal, BI menempuh kebijakan-kebijakan lain yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan domestik.
Reporter: Benedicta Prima
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul BI pertahankan suku bunga di level 6%