TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah merancang RAPBN tahun 2020 dengan tiga strategi kebijakan fiskal ekspansif.
Hal itu disampaikan saat pidato Rancangan APBN (RAPBN) Tahun Anggaran 2020 dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR RI Tahun Sidang 2019-2020.
“Pemerintah akan menempuh tiga strategi kebijakan fiskal, yakni memobilisasi pendapatan dengan tetap menjaga iklim investasi, meningkatkan kualitas belanja agar lebih efektif dalam mendukung program prioritas, serta mencari sumber pembiayaan secara hati-hati dan efisien melalui penguatan peran kuasi fiskal,” kata Jokowi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Kebijakan RAPBN tahun 2020 yang dirancang ekspansif, namun tetap terarah dan terukur.
“Ini sebagai wujud dari komitmen Pemerintah, untuk membuat APBN lebih fokus dalam mendukung kegiatan prioritas, dengan tetap menjaga agar risikonya berada dalam batas aman,” urainya.
Jokowi mengatakan fokus RAPBN diarahkan pada lima hal utama di antaranya penguatan kualitas SDM, akselerasi pembangunan infrastruktur pendukung transformasi ekonomi, penguatan program perlindungan sosial, penguatan kualitas desentralisasi fiskal, dan antisipasi ketidakpastian global.
Baca: Gerindra: Semua Fraksi di MPR Setuju Pengaktifan Kembali GBHN
Baca: Kontes Layanan Honda, Main Dealer Daya Adicipta Sabet Juara Pertama di Kategori Ini
Dengan fokus pada lima hal tersebut, dan berpatok pada karakter kebijakan fiskal yang ekspansif maka defisit anggaran tahun 2020 direncanakan sebesar 1,76 persen dari PDB, atau sebesar Rp 307,2 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan kebijakan fiskal yang ekspansif dihadapkan dengan beberapa tantangan.
Antara lain meliputi output gap antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) yang semakin kecil, perubahan demografi, jebakan menjadi negara berpenghasilan menengah (middle income trap), dan keempat perubahan struktural.
Strategi fiskal 2020 yang ditetapkan ekspansif namun tetap terarah dan terukur diprediksi dengan rasio pajak berkisar di 11,8 persen hingga 12,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), defisit 1,52 persen hingga 1,75 persen, keseimbangan primer 0,0 persen hingga 0,2 persen, dan rasio utang 29,4 persen hingga 30,1 persen dari PDB.
“Defisit kami tetapkan lebih rendah karena kami melihat adanya volatilitas. Oleh karena itu, kami ingin semakin prudent," ungkap Menkeu.