TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam dua bulan terakhir, tidak ada satupun dari 33 perusahaan yang mau merelokasi bisnisnya dari China ke Indonesia.
Sebanyak 23 perusahaan tersebut pindah ke Vietnam, dan 10 lainnya pindah ke Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Informasi ini didapat oleh Presiden RI Joko Widodo dari laporan kantor perwakilan Bank Dunia di Indonesia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, peristiwa relokasi perusahaan luar negeri yang berujung enggan masuk ke RI bukan hanya terjadi saat ini.
Baca: Investor Jepang akan Bangun Pabrik Baterai, Menko Luhut: Perintah Presiden, Prosedur Dibuat Mudah
Sebelumnya, perusahaan-perusahaan asing dari negara lain juga tidak berminat pindah ke Indonesia.
"Relokasi investasi tidak hanya dari China. Tapi juga dari Jepang dan Korea tidak ada yang masuk ke indonesia. Kita kalah dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam menangkap peluang trend relokasi investasi yang sedang berlangsung, khususnya dari China," kata Piter saat dihubungi Kompas.com, Jumat (6/9/2019).
Baca: Pelopor Mobil Esemka Sempat Beberkan Alasan Produknya Telat Diresmikan Jokowi: Kesulitan Investor
Lalu, apa penyebab perusahaan tersebut enggan merelokasi bisnisnya ke RI?
Piter mengatakan masih ada hambatan-hambatan yang perlu ditangani RI.
Menurutnya, perbaikan perizinan dengan sistem Online Single Submission (OSS) hingga pemberian berbagai insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance belum cukup.
Pemerintah, kata Piter, perlu kembali menyederhanakan prosedur saat investor akan merealisasikan investasinya, seperti masalah pembebasan lahan dan perizinan lainnya.
"Sesungguhnya Indonesia sudah sangat menarik bagi investor. Tapi hambatan seringkali terjadi justru saat investor akan merealisasikan investasinya. Hambatan yang umumnya terjadi adalah masalah pembebasan lahan dan perizinan," ujar dia sebagaimana dikutip dari artikel Kompas.com berjudul "Tak hanya China, Perusahaan Jepang dan Korea Juga Ogah Lirik RI".
Selain kedua kendala itu, Piter menyebut masih banyak faktor lain yang menghambat, seperti kebijakan pemerintah yang inkonsisten, tidak ada koordinasi pusat dan daerah, serta masalah pengupahan dan perburuhan.
Piter juga menyarankan pemerintah perlu memperbaiki hambatan ini secara cepat dan tepat.
Pasalnya, Indonesia tengah mengalami penurunan investasi asing dalam bentuk FDI.
Bahkan tahun lalu, FDI sempat mengalami pertumbuhan negatif meski sudah mulai membaik tahun ini.
"Jadi saya kira untuk mendorong FDI, menangkap relokasi investasi tidak cukup dengan deregulasi. Hilangkan juga hambatan inkonsistensi kebijakan, perbaiki koordinasi pusat daerah, perbaiki tata kelola pertanahan, perbaiki kebijakan perburuhan, serta perbaiki sistem perizinan," pungkas dia.
Tempat menarik
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri kembali menyoroti pidato 'Visi Indonesia' oleh Presiden Joko Widodo mengenai kinerja investasi di tanah air.
Jokowi sempat mengatakan akan fokus menggenjot investasi, bahkan "menghajar" pihak-pihak yang memperlambat investasi di Indonesia.
Menurut Faisal, kinerja investasi sudah sangat baik.
Dia menyarankan Jokowi tidak memaksakan semua pelaku usaha terutama Badan Usaha Milik Negara untuk berinventasi tanpa perhitungan yang jelas.
"Seolah-olah investasi enggak nendang, bermasalah, ini sangat tidak benar. Saya heran kenapa pak Jokowi bilang itu. Investasi di kita baik-baik saja tidak jelek. It is okay dibanding negara lain," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
"Indonesia investasinya 32,3 persen (dari PDB). Kita above average, di era Jokowi naiknya sudah poll tak bisa dipaksa macam F1 kebakaran nanti mobilnya," ucap dia.
Faisal juga menilai investasi asing yang masuk ke Indonesia cukup menjanjikan.
Dia membantah pernyataan Kepala BKPM Thomas Lembong bahwa Indonesia peringkat ketiga paling tertutup untuk investasi asing.
Menurutnya, pada 2018 Indonesia masuk peringkat ke 16 di dunia sebagai penerima investasi asing, naik dua peringkat dari tahun sebelumnya.
"Investasi asing dibilang lambat, padahal nomor 3 paling atraktif di Asia, 48,1 persen investor mau tempatkan investasi di RI. 31 persen akan tetap di Indonesia tapi tak nambah investasi. Kita cuma kalah dari China dan India," jelas Faisal.
"Dibandingkan ASEAN levelnya kita tertinggi soal jumlah investasi. Kita cuma kalah dari China. Indonesia keren. Jadi persoalannya bukan investasi, pak Jokowi," ujarnya.
Baca: Berinvestasi di Emas Dianggap Sudah Kemahalan, Ini Pilihan Lain untuk Membiakkan Uang
Faisal Basri menilai, permasalahan investasi di Indonesia yaitu output atau hasil yang dihasilkan tidak optimal.
Dengan begitu, lanjutnya, pendapatan yang diterima negara dari hasil investasi itu tidak setimpal.
Dia menyarakan Jokowi fokus membuat investasi lebih efisien, sehingga bisa menurunkan rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
Masalahnya adalah investasi yg banyak itu hasilnya sedikit. Jadi untuk nambah secangkir kopi produksi satu sachet gula butuh modal 6 unit, di Vietnam cuma 4. Jadi kita itu boros," ucap Faisal.
"Kalau pak Jokowi mau (ekonomi) tumbuh 7 persen turunkan saja ICOR jadi 4,6 persen. Kalau 6 persen turunkan ICOR jd 5,4 persen. Jadi gak bisa ujug-ujug membangun," pungkasnya.