TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah disarankan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasli pengelolaan dan penentuan tarif cukai rokok yang diberlakukan Pemerintah selama ini agar realisasi penerimaan cukai meningkat.
Kebijakan dan penerapan cukai rokok selama ini dinilai banyak pihak masih memiliki celah yang berpotensi merugikan negara. karena perusahaan rokok asing bisa memanfaatkan celah itu untuk membayar tarif cukai yang lebih rendah dari seharusnya.
Pengamat kebijakan publik Agus Wahyudin dalam keterangan persnya di Jakarta Sabtu (21/9/2019) mengatakan, KPK perlu dilibatkan untuk melakukan kajian dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait struktur tarif cukai rokok.
"Perlu perbaikan-perbaikan aturan, sebab masalah ini menyangkut kepentingan publik. Pemasukan negara dari cukai harus maksimal untuk pembiayaan-pembiayaan bagi kepentingan masyarakat. Misalnya pembangunan infrastruktur, pembiayaan fasilitas kesehatan masyarakat dan lainnya," ujar Agus Wahyudin.
Baca: Punya Rumah Dikepung Kompleks Apartemen, Lies Harus Bayar Karcis Masuk ke Pengelola
Agus menambahkan, Pemerintah perlu melakukan penelitian dan investigasi mengenai potensi kebocoran dalam penerimaan cukai.
"Pemerintah perlu melakukan investigasi dengan melibatkan pihak berwenang. Hal itu tentunya juga akan mempersempit ruang bagi pihak-pihak yang akan berlaku curang," ujar Agus.
Baca: Jenderal Negosiator Perdamaian Ini Disebut-sebut Calon Menhan di Kabinet Jokowi II
Pegiat antikorupsi Danang Widiyoko menekankan proses pembuatan kebijakan harus transparan. "Akuntabilitasnya perlu di dorong supaya lebih transparan," kata Danang.
Danang setuju untuk pencegahan korupsi, KPK perlu dilibatkan.
"KPK perlu masuk untuk melakukan perhitungan, untuk mengecek konsistensi regulasi dan memberikan masukan apalagi ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. Jadi saya kira ini bagian pencegahan KPK bisa turut memberikan masukan. Peran strategis KPK penting untuk ini," kata Danang Widoyoko.
Sementara itu, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkanna menyatakan, indikasi intervensi industri dalam penetapan tarif cukai rokok sudah sangat kasat mata.
“Produknya sudah ada dalam bentuk peraturan,” kata Mukhaer.
Dia juga mendukung usulan pelibatan KPK karena KPK lembaga yang berkompeten memberikan rekomendasi serta berpengalaman dalam hal upaya pencegahan korupsi.
Peran KPK dalam mencegah potensi kehilangan penerimaan negara sangat diperlukan.
Menurut Mukhaer, kebijakan terkait rokok melibatkan banyak lembaga dan kementerian. Diantaranya kementerian yang terlibat adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kesehatan.
Indonesia Budget Center (IBC) dan Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) sebelumnya sduah mendesak KPK agar terlibat pada upaya mencegah berbagai celah yang ada dalam PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018.
Kedua lembaga itu menilai, kebijakan yang rumit melahirkan potensi korupsi dan memunculkan potensi kehilangan penerimaan negara.
Awal tahun 2019, KPK telah memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menghapuskan insentif fiskal di zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang merugikan negara sangat besar.
Rekomendasi tersebut terbukti cukup efektif mencegah berbagai penyimpangan yang dibuktikan dengan pencabutan pemberian insentif fiskal rokok di FTZ sejak 17 Mei 2019.
Dengan demikian, kajian dan rekomendasi sejenis dinilai dapat dilakukan terhadap peraturan tentang tarif cukai rokok.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengungkapkan, KPK telah melakukan penyelamatan keuangan negara dari penghapusan serta pembebasan cukai rokok pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kota Batam.
"Dari situ senilai Rp 900 miliar. Dan itu merupakan hasil kajian KPK. Salah satu rekomendasi KPK ditindaklanjuti oleh Kementerian Koordinator Perekonomian kepada Dirjen Bea Cukai untuk tidak lagi melayani permintaan pembebasan cukai rokok," ujar Febri Diansyah,Jumat (20/9/2019).