Karena itu, pihaknya mengusulkan kebijakan tersebut ditunda karena Kalau kenaikannya 23 persen sudah diambang batas kewajaran.
"Makanya bisa kami sampaikan, menurut apa yang kami rasakan, rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan kenaikan harga jual eceran rokok adalah tindakan secara perlahan mematikan petani tembakau dan buruh rokok. Padahal industri rokok, petani tembakau selama ini sudah membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja. Ini harus diperhatikan oleh pemerintah,” papar Agus Pamudji.
Dia menyarankan, agar pemerintah jangan hanya memandang tembakau ini sebagai komoditi yang harus diperangi, atau hanya mau uangnya saja lewat cukai tapi enggak mau memahami dan mengerti permasalahannya.
"Karena itu pihaknya berharap pemerintah bisa membaca apa yang diderita dan dirasakan oleh masyarakat petani tembakau. K APTI meminta sebuah kebijakan atau usulan yang adil," katanya.
“Kebijakan yang adil dari pemerintah bagi kami masyarakat petani tembakau dan buruh pabrik rokok adalah, kenaikan cukai jangan terlalu tinggi tapi yang wajar wajar saja. Namun kenaikan cukai itu harus dibarengi dengan meningkatnya kesejahteraan petani tembakau. Cukai rokok naik tapi harus juga diiringi dengan naiknya kesejahteraan petani tembakau,” pinta Agus Pamudji.
Protes Menteri Keuangan
Agus Pamudji menegaskan, pihaknya saat ini sedang melakukan diskusi dengan pengurus APTI pusat dan wilayah untuk menentukan aksi apa yang akan dilakukan, apabila Menteri Keuangan tetap melanjutkan kebijakan menaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen.
Tidak tertutup kemungkinan untuk bergabung dengan elemen masyarakat lain melakukan aksi massa memprotes kebijakan kenaikan tarif cukai.
“Setidaknya, saat ini kami akan menyurati Menteri keuangan ibu Sri Mulyani Indrawati agar menunda atau membatalkan kenaikan cukai sebesar 23 persen," ujarnya.
Sementara itu pengamat kebijakan public dari Public Trust Indonesia (PTI), Hilmi Rahman Ibrahim melihat rencana pemerintah menaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen lebih kepada upaya menyelamatkan kas negara yang saat ini tengah kosong, dibandingkan upaya pengendalian tembakau atau alasan kesehatan.
Namun demikian, mengingat kondisi perekonomian masyarakat termasuk masyarakat petani tembakau yang sedang sulit sebagai imbas dari sulitnya perekonomian nasional, rencana tersebut sangat tidak bijak apabila tetap dipaksakan untuk direalisasikan mulai 1 Januari 2020.
“Pemerintah Pusat khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani hendaknya bersikap arif dan bijaksana. Jika pemerintah sedang mengalami kekurangan dana, saat ini sebaiknya tidak hanya menjadikan industry rokok dan tembakau sebagai obyek penarikan cukai," katanya.
Lebih lanjut Hilmi menjelaskan, apabila kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen dianggap masih belum menutup kekosongan kas negara, pemerintah dapat menggali cukai di sektor lain.
Baik pengenaan cukai di industri plastik maupun di industry minuman soda. Hal ini sudah dilakukan di negara- negara maju.
“Jadi, jangan hanya industry rokok dan tembakau yang dijadikan sapi perahnya. Tidak ada salahnya industry plastik dan industry soda juga dikenakan. Tujuannya sama sama menjaga kesehatan masyarakat dan lingkungan, juga menutupi kekosongan kas negara,” kata Hilmi Rahman Ibrahmim (*)