News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RI Harus Sertakan Sawit dalam Perundingan IEU-CEPA

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petani sawit mengangkut hasil kebun mereka untuk dibawa ke lokasi loading Terima Buah Sawit (TBS) di Desa Semoi III, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Pembangunan Ibu Kota Negara yang baru di kawasan Penajam Paser Utara rencananya tidak akan menggusur perkebunan dan pertanian milik warga karena pemerintah menggunakan lahan milik negara. Tribun Kaltim/Fachmi Rachman

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sepanjang Januari hingga Oktober 2019 masih defisit sebesar US$ 1,79 miliar.

Guna menekan defisit tersebut pemerintah diminta fokus menjaga kinerja ekspor komoditas andalan. Salah satunya ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Baca: Cak Imin : 16,2 Juta Rakyat Hidup dari Sawit

Baca: B30 Akan Dimulai, Apakah Produksi Sawit Indonesia akan Membaik?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, kinerja ekspor CPO sangat mempengaruhi defisit neraca dagang. Maka itu, upaya memaksimalkan ekspor CPO harus terus dilakukan.

Nah, peluang menggenjot ekspor sawit bisa dilakukan lewat pembahasan prioritas negosiasi perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA).

Baca: Penanganan Kemasan Paska Konsumsi Buka Peluang Investasi dan Lapangan Kerja

Baca: Pelepah Hingga Bungkil Sawit Bisa Jadi Pakan untuk Tingkatkan Bobot Sapi

Menurutnya, pemerintah harus tetap menyertakan komoditas sawit dalam pembahasan IEU-CEPA.

“Menurut saya, CPO harus ada di meja perundingan. Kalau alot, lebih baik ditunda dulu IEU-CEPA itu. Jadi lebih baik kepentingan CPO diutamakan, karena itu adalah salah satu komoditas unggulan yang sebenarnya bisa memenangkan banyak hal ketika IEU-CEPA berlaku,” ujar Bhima dalam siaran persnya, Kamis (21/11).

Bhima mengingatkan, pemerintah agar tidak terpengaruh dengan permintaan atau desakan pengusaha yang menginginkan agar proses negosiasi IEU-CEPA ini dipercepat dengan meninggalkan sawit dalam agenda pembahasan.

Sebab, jika sawit tidak dimasukkan dalam pembahasan ini, Bhima meyakini, Indonesia akan banyak dirugikan. Sebaliknya, Eropa sangat diuntungkan dengan perjanjian tersebut. Volume ekspor ke Benua Biru yang diharapkan akan meningkat dengan pemberlakuan perjanjian dagang tersebut dipastikan tidak akan menjadi kenyataan.

Sebaliknya, Indonesia hanya akan dijadikan pasar produk-produk Eropa yang saat ini telah siap masuk Indonesia. Produk-produk peternakan, pertanian, hingga mesin pesawat terbang di antara produk yang siap menyerbu pasar Indonesia.

Jika demikian, lanjut Bhima, neraca perdagangan Indonesia-Eropa dipastikan akan defisit, khususnya di sektor pertanian. “Ini menjadikan kondisinya akan semakin buruk dibandingkan dengan sebelum perjanjian IEU-CEPA diberlakukan,” kata Bhima.

Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemerintah Indonesia sangat berkepentingan memasukkan sawit sebagai komoditas utama yang akan dinegosiasikan dalam perjanjian IEU-CEPA.

Hal itu pun diketahui Eropa. Selama ini, Eropa diketahui tidak mau menyertakan sawit dalam lanjutan perundingan CEPA. Namun, semua tergantung sikap pemerintah apakah akan melanjutkan perundingan atau tidak.

Bila dilanjutkan, Bayu pun meminta pemerintah tetap memasukkan sawit dalam pembahasan perundingan IEU-CEPA. Menurutnya, sawit merupakan komoditas yang memiliki posisi tawar penting dalam perundingan ini. “Intinya sawit tetap perlu jadi bargaining point penting dalam perundingan dengan Eropa,” katanya.

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia mengakui sawit sebagai komoditas strategis yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Selain Eropa, menurutnya, peluang ekspor CPO ke China juga terbuka lebar. Pasalnya, Negeri Tirai Bambu itu bakal mencari sejumlah komoditas alternatif asal Indonesia yang berpotensi mendongkrak ekspor.

Akibat perang dagang, industri di China bakal mencari sumber energi yang lebih murah dan batubara menjadi salah satu alternatif. Selain itu ekspor minyak sawit atau CPO juga berpotensi meningkat karena China bakal mengganti minyak kedelai yang selama ini diimpor dari Amerika Serikat (AS).

"Saya melihat bakal ada perbaikan kinerja ekspor di tahun depan, selain karena meningkatnya permintaan, harga komoditas diperkirakan bakal kembali membaik di tahun depan. Apalagi dua komoditas andalan Indonesia, CPO dan batubara. Tapi itu semua belum pasti juga karena ketidakpastian global cukup tinggi," kata Faisal.

Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: Indef: Genjot ekspor CPO lewat negosiasi dagang Uni Eropa

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini