News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Evaluasi Tarif Penyeberangan Bertele-tele, Kemenhub Dinilai Abai Keselamatan Publik

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pelabuhan Penyeberangan Ajibata di Sumatera Utara.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perhubungan dinilai sangat lamban menanggapi kesulitan pelaku usaha angkutan penyeberangan yang semakin kritis akibat evaluasi dan penetapan tarif moda transportasi itu berlarut-larut hingga 1,5 tahun. 



Menurut Bambang Haryo Soekartono, praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, evaluasi tarif angkutan penyeberangan komersial antarprovinsi yang sangat lamban itu tidak sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo agar aparat pemerintah melayani perizinan dengan cepat. 



“Usulan evaluasi tarif sama seperti perizinan karena menyangkut pelayanan publik. Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal 3 jam, kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun ditambah birokrasinya panjang karena sekarang melibatkan tiga instansi, yakni Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM,” kata Bambang Haryo, Jumat (13/12/2019). 


Baca: Tinjau Pelabuhan Patimban Subang, Jokowi: Arah ke Depan Jadi Pelabuhan Khusus Mobil


Dia mengatakan, Kemenhub melanggar aturannya sendiri yakni Keputusan Menhub No. KM 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap 6 bulan sekali. 



“Evaluasi tarif sudah 1,5 tahun tapi belum juga ditetapkan, sementara tarif belum naik dalam 3 tahun terakhir,” ungkapnya.



Dia menilai berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan Kemenhub kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan dari Presiden. 



Pada era Orde Baru saja, tutur Bambang Haryo, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran. 



Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub.

“Jadi birokrasi tarif yang panjang dan bertele-tele saat ini merupakan suatu kemunduran, tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas hambatan usaha dan birokrasi,” tegasnya. 



Lebih mengherankan lagi, lanjut Bambang Haryo, Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama 3 tahun ke depan. 



Padahal, perhitungan tarif sudah sangat transparan karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Pemerintah mengetahui bahwa pendapatan itu sulit untuk menutupi keselamatan dan kenyamanan pelayaran. 



“Sebagai sarana (alat angkut) sekaligus prasarana publik yang supermassal, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda lain. Oleh karena itulah harus dilindungi oleh negara agar kondisi usaha kondusif demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya,” kata Bambang Haryo. 



Anggota Komisi V DPR DRI periode 2014-2019 sekaligus Dewan Pembina Gapasdap ini menyadari, kenaikan tarif bukan kebijakan populer bagi pemerintah, namun keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi popularitas. 



Menurut Bambang Haryo, dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut sehingga tidak perlu dikhawatirkan.


Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini