TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus gagal bayar Jiwasraya atas klaim nasabah terus bergulir. Kasus ini ditengarai merugikan negara tak kurang dari Rp 13,7 triliun.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai kasus gagal bayar Jiwasraya menunjukkan keteledoran dan kegagalan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas lembaga keuangan. Terlebih, kasus gagal bayar dan permasalahan yang terjadi di Jiwasraya sudah berlangsung lama.
"OJK itu mandul. Harusnya dengan adanya OJK, kejadian banyak asuransi mengalami gagal bayar itu tidak terjadi."
"Seharusnya OJK mampu mendeteksi sejak dini dengan kewenangan funsi pengawasannya, tetapi hal ini nyatanya tidak terjadi. Jadi OJK selama ini ngapain saja kalau nggak melakukan pengawasan! karena tujuan pembentukan OJK itu untuk perlindungan konsumen dengan cara mengawasi industri keuangan," katanya.
Dia menegaskan, bobroknya kinerja OJK tak terlepas dari integritas lembaga itu dinilai tidak mampu bersikap independen. Pasalnya biaya operasional lembaga itu didapat dari iuran lembaga keuangan yang diawasinya.
Dia menilai, kasus muncul terjadi karena ada kesengajaan pembiaran dari OJK.
"Selama ini kita menilai OJK tidak independen dalam pengawasan karena biaya operasional OJK itu iuran dari industri finansial, bukan dari APBN. Gimana mau ngawasi industri keuangan mereka kalau makannya dari mereka. Semakin besar iurannya kepada OJK dapat berpotensi semakin tidak optimal pengawasannya kepada industri itu," lanjutnya.
Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman mengatakan lembaganya akan segera memanggil dan meminta keterangan OJK selalu poengawas lembaga keuangan di Indonesia.
Alamsyah menambahkan, Ombudsman saat ini tengah mempelajari kasus-kasus yang terjadi di pasar modal dan industri keuangan.
Termasuk pengawasan yang seharusnya menjadi tugas dan kewenangan dari OJK. Selaku regulator di pasar modal dan lembaga keuangan.
“Kita lagi mempelajari apakah sistim pengawasan OJK sudah berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya atau tidak."
"Seharusnya sebagai lembaga pengawas dibidang keuangan, mereka memiliki sistim diteksi dini. Apa lagi setiap 3 bulan sekali OJK menerima laporan dari bank, asuransi dan lembaga keuangan. Namun kenyataannya kan tidak jalan,” ujar Alamsyah.
Alamsyah menilai saat ini Ombudsman melihat akuntabilitas dalam menyelesaikan kasus di pasar modal dan lembaga keuangan yang dilakukan oleh otoritas terkait terbilang sangat buruk.
Jika otoritasnya tidak memiliki akuntabilitas, dia khawatir hal itu akan merusak sistim perekonomian nasional yang lebih besar dikemudian hari.
Ini dibuktikan dengan kasus yang kerap berulang dan tidak pernah terselesaikan. Berdasar informasi yang diterima Alamsyah, kasus di institusi keuangan yang menjadi ranah pengawasan OJK tidak hanya terjadi di Jiwasraya saja.
Menurutnya, ada beberapa laporan yang masuk ke Ombudsman terkait lembaga keuangan yang memiliki masalah besar seperti Jiwasraya.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menilai pengawasan yang dilakukan OJK seperti pengawasan yang dilakukan oleh BPK.
Audit yang dilakukan oleh OJK dan BPK hanya audit administratif saja. Tidak melakukan audit investigasi. Karena pengawasannya hanya normatif saja. Itu sebabnya OJK tidak bisa mengawasi potensi resiko yang akan terjadi.
Enny menegaskan, audit yang dilakukan BPK dalam melihat potensi kerugian negara hanya berdasarkan dukumen administratif.
Apakah dokumen yang diajukan dengan yang dilaksanakan itu sama atau tidak. Namun pada praktiknya pelaku rent seeker selalu mencari celah regulasi yang ada. Sehingga regulator perlu melakukan audit investigasi.
“Seharusnya namanya pengawasan itu termasuk audit investigasi sehingga bisa menggetahui potensi dan meminimalkan resiko yang akan terjadi."
Buat apa adanya OJK jika tidak bisa mengetahui potensi resiko. Jika seperti itu kita tidak membutuhkan OJK," ujar Enny Sri Hartati.
"OJK kayaknya mau lepas tangan saja. Kalau ngak mau tanggung jawab OJK dibubarkan saja. Seharusnya dengan dibuatnya OJK dapat memperkuat dan mencegah moral hazard di industri keuangan. Namun kenyataannya sekang tidak,” ungkapnya.
Enny juga menilai pengawasan oleh OJK terhadap sektor yang diawasinya sangat kurang. Ini dibuktikan dengan OJK yang memberikan izin Jiwasraya untuk menggelola dana investasi.
Menurut Enny seharunya OJK tidak memberikan izin kepada Jiwasraya menggeluarkan produk investasi. Seharunya produk investasi dikeluarkan oleh pihak lain.
Enny juga menegaskan, esensi pengawasan yang dilakukan regulator seharusnya adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Bukan malah membiarkan masyarakat menjadi korban. Sebab masyarakat awam banyak yang tidak menggerti mengenai asurasi dan produk investasi.
Selain itu nature bisnis asuransi serta manager investasi dinilai Enny berbeda. Karena berbeda, sehingga model aturan dan pengawasan antara asuransi dengan manager investasi yang menggelola dana tentunya berbeda.
“OJK juga memiliki peran juga dalam kasus Jiwasraya ini. Kenapa OJK mengizinkan Jiwasraya menggeluarkan produk asuransi dan produk investasi yang dijamin keuntungannya."