"APNI mendata di 7 provinsi melakukan kuota ekspor, itu ada sekitar 3,8 juta (ton), di kadar 1,7 (persen) dan saat ini idle, enggak tahu mau diapain, mungkin kalau nomplok jadi pulau kali ya, masalahnya smelter enggak terima," ujar Meidy.
Menurut Meidy, meskipun masih ada smelter yang ingin menyerap nikel dengan kadar 1,7 persen, harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga patokan mineral (HPM) free on board (FOB).
Meidy pun meminta pemerintah untuk menengahi masalah ini dengan pihak pengusaha smelter.
"Kalau penambang enggak hidup gimana caranya smelter bisa hidup? potensi kadar nikel Indonesia memang luar biasa besar, tapi kalau smelter ini hanya menggunakan kadar 1,8 persen sampai 5 tahun pasti smelter ini pasti tutup semua," ucap dia.
Masalah lain, sambung Meidy, adalah terkait dengan surveyor kadar. Pihak yang menentukan surveyor bukan pemerintah. Hasilnya sering kali ada permainkan kadar.
Misalnya, surveyor di pelabuhan muat dapat menyebutkan kadar ore sebesar 1,8 persen, sedangkan surveyor di pelabuhan bongkar menyebutkan kadar hanya 1,3 persen.
Prihadi Santoso mengatakan bahwa prospek industri nikel sangat besar selama semua pihak memiliki jiwa ikatan keindonesiaan.
Dan persoalan inti dalam hal nikel ini adalah harga pokok mineral (HPM). Ia pun berharap bahwa HPM ini bisa disepakati oleh kedua belah pihak, baik smelter maupun penambang.
"Bersama pemerintah, kita harus mencari rumusan yang adil," ungkap Prihadi, sambil mengatakann bahwa terkait surveyor bisa diserahkan kepada pemerintah dan bisa memenuhi unsur keadilan.
Haryadi Sukamdani mendukung fairness sebab di Apindo sendiri juga ada pengusaha tambang dan ada pengusaha smelter.
Apindo menekankan agar prinsip fairness itu bisa ditegakkan, apalagi kebijakan menaikkan hasil tambang juga menjadi hal strategis bagi negara.
Haryadi menjelaskan persoalan di lapangan. Misalnya, ketika mau dibangun smelter selalu terkendala dengan hal lain seperti listrik dan jalan. Akhirnya, masuklah investasi asing yang bisa mengatasi kendala itu.
"Kita tidak anti asing, namun kalau kita tak punya peremcanaan jangka panjang, bisa bikin repot," ungkapnya.
Dia juga heran dengan persoalan izin. Sebab izin industri nikel ada dua, yaitu ke Kementerian ESDM dan ke Kementerian Industri. Padahal objeknya sama, namun mengapa izinnya harus ada dua.