"Saya rasa, intinya semua industri harus dibangun dalam perspektif keadilan. Harus dicari titik temu antara kedua belah pihak. soal surveyor nakal, pelaku usaha harus tegas. Kalau ada surveyor gak profesional, perkaraan saja," ungkapnya.
Irwandi Arief memastikan bahwa pemerintah akan melindungi pihak penambang maupun smelter.
Sebab pemerintah menganut prinsip keadilan, dan siapapun yang arogan harus berhadapan dengan pemerintah.
Ia juga mengatakan bahwa usaha tambang itu sangat tergantung sama harga. Sementara harga dikontrol oleh mekanisme pasar internasional. Pemerintah memastikan akan membuat solusi jangka pendek dan panjang.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menambahkan bahwa Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) akan menerbitkan peraturan mengenai tata niaga dan harga nikel di dalam negeri pada Maret 2020. Peraturan itu bertujuan untuk mengakomodasi keinginan penambang dan smelter dalam transaksi nikel.
"Bentuknya Kepmen (Keputusan Menteri), karena ini kebutuhan yang harus segera diakomodir dari keinginan para penambang sekaligus membenahi tata kelola jual beli nikel," ujarnya, sambil mengatakan peraturan itu akan mengatur HPM antara penambang dan smelter sehingga sesuai dengan perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel.
Ketua Umum HIPMI Mardani H Maming mengharapkan HPM yang ditentukan oleh pemerintah dapat memberikan kebaikan bagi penambang maupun pengusaha smelter.
HPM harus diatur dengan memperhatikan prinsip kepastian dan keadilan, tanpa merugikan semua pihak, baik pemilik smelter, penambang, dan terutama negara dan bangsa Indonesia.
Ia mengemukakan harga bijih nikel kadar 1,8 persen Free on Board (FoB) Filipina saat ini dihargai antara 59-61 dolar AS per wet metric ton (wmt) sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1,8 persen FoB sebesar 38-40 dolar AS per wmt merupakan harga yang wajar.
Selain itu, Mardani juga meminta agar nikel dengan kadar 1,7 persen dapat diterima smelter, mengingat kadar nikel itu yang menjadi standar ekspor sebelum pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada 1 Januari 2020.
"Kita tahu bersama bahwa setiap proses penambangan tidak dapat dipastikan kadar ore yang diperoleh, sehingga jika ore yang didapat memiliki kadar 1,7 persen, bisa kita hitung berapa besar kerugian penambang. Oleh karenanya, saat ini banyak penambang yang memilih menghentikan produksi," ungkap Mardani.
Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan Lingkungan Hidup Bidang Mineral dan Batubara KADIN Agus Pramono menambahkan bahwa persoalan nikel ini bukan semata persoalan produksi, namun juga terkait dengan persoalan limbah. Ada jutaan ton limbah di setiap smelter.
"Padahal pengelolaan limbah ini juga bisa menjadi nilai tambah bagi pemerintah kita," demikian Agus.