Hal ini, karena jika aturan itu diberlakukan maka terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"Kekhawatiran akan banyak PHK secara besar-besaran dampak berlakunya UU ini," kata dia.
Dia menyoroti banyak pasal di BAB XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dihapus di Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Pasal-pasal tersebut, yaitu 151, 152, 154, 155, 158, 159, 161 dan 172.
Dia mencontohkan upaya penghapusan peran serikat pekerja melakukan mediasi antara pekerja dan pengusaha pada saat adanya PHK.
"Dengan ketentuan di UU Cipta Kerja, peran serikat pekerja dihilangkan sehingga ketika pengusaha mau melakukan PHK ya sudah, cuma butuh proses cukup memberitahukan kepada perka pengajuan ke dinas setempat. Sudah langsung di PHK. Sehingga mempermudah proses PHK," ujarnya.
Selain itu, kata dia, pengubahan skema pesangon bagi pekerja yang terkena PHK.
"Ada klausul pasal ketika seorang pekerja mengundurkan diri kemudian ada beberapa hak pekerja terkait penghitungan upah pesangon dan yang lain. Tetapi di ketentuan undang-undang baru, ini dihilangkan. Sehingga, ketika pekerja mengundurkan diri tak mendapatkan apa-apa," kata dia.
Baca: Pelaku Pembacokan Satu Keluarga di Purwakarta Berhasil Ditangkap, Motif Diduga Ada Unsur Dendam
"Tidak ada kewajiban pengusaha terutama persoalan PHK. Benar yang disampaikan serikat pekerja, PHK bisa saja terjadi. Dengan ketentuan undang-undang ini pengusaha tidak suka tingggal dipecat. Kewajiban yang awalnya dibebankan pada pengusaha sudah tidak ada," ujar Devi.
Bahkan, dia melanjutkan, pengusaha tidak akan menerima sanksi apabila membayar upah tidak sesuai ketentuan. Atas dasar itu, dia mempertanyakan, alasan pemerintah menyusun Omnibus Law Cipta Kerja.
"Apa benar itu bisa mengundang investasi ke Indonesia? Apakah ada hal lain yang tidak hanya soal pekerja. Menurut saya opsi menekan atau meniadakan hak pekerja itu bukan opsi strategis malah harusnya pemerintah lebih mengedepankan hak pekerja," tambahnya. (Tribun network/nas/yud/gle/wly)