Dahlan juga menambahkan bahwa sebetulnya tidak menjadi masalah jika Indonesia menjadi market produk-produk luar negeri, selama Indonesia juga memiliki produk-produk unggulan yang kompetitif untuk dipasarkan ke luar negeri.
Ia mencontohkan dalam hal perdagangan dengan Tiongkok, Indonesia sebaiknya lebih fokus bermain di produk-produk perkebunan terutama buah-buahan tropis seperti durian, manggis, rambutan, pisang dan alpukat.
Indonesia boleh saja dibanjiri oleh barang-barang Tiongkok namun Indonesia juga harus membanjiri Tiongkok dengan produk-produk perkebunan tersebut. Lebih jauh lagi, ia menyarankan agar selama dan pasca pandemi covid-19, Indonesia lebih memfokuskan diri membangun kemandirian ekonomi di sektor pertanian dan perkebunan.
Sementara itu, melalui webinar ini Prof. Didik Rachbini memberikan kritik yang cukup keras terhadap gaya penanganan dan penanggulangan pandemi covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, menurutnya pemerintah menjadi masalah kedua setelah covid-19.
Dalam hal ini, ia menilai kebijakan pemerintah dalam menghadapi covid-19 sangat membingungkan. Menurutnya, dalam situasi kritis seperti ini kepemimpinan (leadership) menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan dampak-dampak ikutannya. Sayangnya, menurutnya kepercayaan (trust) kepada pemerintah sudah tidak ada.
Ia menambahkan, bahwa krisis akibat pandemi ini berbeda dibandingkan krisis-krisis sebelumnya. Menurutnya, krisis ekonomi tahun 1998 hanya menyelesaikan dampaknya, karena masalahnya sudah selesai. Namun, saat ini antara masalah dan dampaknya terjadi secara bersamaan.
Hal ini membuat bangsa ini diliputi dengan ketidakpastian. Untuk itu, ia menyarankan lebih baik bangsa Indonesia untuk sementara ini lebih memfokuskan diri terlebih dahulu pada masalah ketahanan hidup (survival).
Lebih jauh lagi, Didik menyarankan untuk memperhatikan tiga hal, yakni pasar (market), negara dan sifat altruisme warga. Menurutnya, ketiga hal tersebut memiliki peran yang paling utama bagi kehidupan masyarakat selama masa pandemi.
Dalam hal ini, aktivitas pasar harus tetap dijalankan, namun dengan menggeser medianya dari infrastruktur fisik menjadi infrastruktur digital. Normalitas baru (the normal) akan berkonsekuensi pada efisiensi dalam kegiatan ekonomi.
Selain itu, menurutnya negara harus memanfaatkan APBN secara efektif dan efisien. Anggaran 400 Trilyun yang sudah digulirkan oleh pemerintah untuk penanggulangan dampak covid-19 harus dipergunaakan secara efisien. Ia sendiri tidak sepakat dengan anjuran pencetakan uang (quantitative easing) oleh Bank Indonesia, mengingat dampaknya akan semakin kompleks terutama akibat inflasi.
Selain menghadirkan para ekonom dan praktisi ekonomi, webinar ini juga menghadirkan Najib Azca untuk memberikan perspektif sosiologis dalam menganalisis dampak dari pandemi covid-19. Menurut Najib, masalah di bidang kesehatan ini telah berdampak terhadap krisis ekonomi, kemudian krisis ekonomi tersebut mengakibatkan keresahan sosial dan potensi kerawanan sosial.
Bahkan, masalah sosial ini bisa berujung pada kemungkinan terjadi krisis di bidang politik. Melalui webinar ini ia mengingatkan akan potensi-potensi dampak ikutan lain yang harus diantisipasi dan dipersiapkan jika pandemi ini berlangsung dalam durasi yang panjang.
Meskipun demikian, Najib mengatakan bahwa Indonesia diuntungkan dengan adanya kekuatan modal sosial dan solidaritas sosial yang kuat. Dalam hal ini, Indonesia menduduki peringkat kelima dunia dari sisi kekuatan modal sosialnya, dan rangking paling atas dalam hal indeks memberi (world giving index).
Secara tidak langsung, modal sosial ini sangat membantu kerja pemerintah dalam menanggulangi pandemi. Namun, ia juga memprediksi apabila pandemi ini berlarut-larut hingga berganti tahun, kekuatan modal sosial Indonesia dalam menopang bantuan sosial terhadap masyarakat miskin dimungkinkan hanya dapat bertahan maksimal hingga akhir tahun 2020.