Laporan Reporter Kontan, Ferrika Sari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus-kasus gagal bayar oleh koperasi simpan pinjam ke anggotanya belakangan makin menyeruak ke permukaan dan mengagetkan publik.
Terdapat tiga koperasi yang sudah berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sedang berupaya mengajukan perdamaian melalui restrukturisasi utang kepada nasabah seperti Koperasi Hanson Mitra Mandiri (HMM), KSP Indosurya Cipta dan KSP Alto.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai masalah koperasi di Indonesia memang rumit.
Secara umum, karena kurangnya pengawasan dari Kementerian Koperasi dan UKM serta suku dinas koperasi di daerah - daerah.
“Pengawasan kurang sehingga pengelolaan dana kurang transparan. Jadi, kalau dana investasinya besar bisa mengalir ke mana-mana sehingga penyalahgunaan bisa terjadi karena kurang pengawasan dari lembaga terkait,” kata Eko kepada Kontan.co.id, Minggu (17/5/2020).
Baca: Hikmah Pandemi Corona di Mata Natasha Rizky: Bisa 24 Jam Full Jalani Peran Istri dan Juga Ibu
Dibandingkan bank, pengawasan koperasi dinilai lebih longgar. Pertama, dari sisi kelembagaan, pembentukan koperasi lebih mudah karena hanya perlu diisi oleh beberapa orang anggota atau tidak lebih dari 10 orang.
Baca: Waspadai Titik Rawan Macet di Jalan Tol Menjelang dan Pasca Lebaran, Ini Rinciannya
Kedua, usaha koperasi berbeda dengan bank yang sudah diatur secara ketat atau high regulated dari Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Misalnya saja, jika bank menetapkan bunga terlalu tinggi maka bisa ditegur oleh OJK, BI dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
Baca: Lebaran, Kendaraan Menuju Rest Area Akan Dibatasi, Istirahat Maksimal 30 Menit
“Kalau bunganya tinggi, pasti ditanya kenapa bisa tinggi sekali. Karena rasio bunganya dinilai terlalu tinggi maka disemprit,” ungkapnya.
Berbanding terbalik dengan koperasi. Dengan pengawasannya yang lemah, pemegang saham atau pengurus koperasi bisa saja menetapkan bunga lebih tinggi dari bank untuk menarik minat masyarakat.
Terlebih, mereka tidak diwajibkan menyampaikan laporan keuangan secara rutin maupun real time seperti bank.
Jika terdapat persoalan di koperasi, kementerian atau lembaga terkait berpotensi memberikan sanksi tapi muncul pertanyaan apakah akan ditindaklanjuti secara cepat.
“Kalau ada lembaga khusus yang menangani permasalahan koperasi seharusnya lebih bersifat profesional. Tapi pengawasan di kementerian justru terlalu birokratis sehingga kurang rasa perhatian terhadap kondisi keuangan koperasi,” jelasnya.
Kementerian atau dinas koperasi juga dinilai terbatas mengawasi ribuan koperasi yang tersebar hingga ke daerah – daerah. Hal ini semakin diperparah oleh keamanan dana anggota tidak dijamin oleh lembaga khusus seperti LPS.
Maka tak mengherankan muncul penyimpangan dalam pengelolaan dana koperasi akibat kelonggaran pengawasan. Kondisi tersebut dimanfaatkan koperasi besar dengan mengiming-imingin investasi bondong ke nasabah.
“Mungkin dari awal tidak berniat jahat tetapi setelah dapat untung dan tidak bisa mengembalikan dana nasabah, mereka lepas tangan,” tambahnya.
Ketika anggota merasa dirugikan, kemudian mereka memprosesnya hal ini secara hukum ke pengadilan agar uangnya kembali melalui gugatan PKPU.
Dengan kondisi tersebut, ia menyarankan agar kegiatan usaha koperasi bisa dikembangkan secara digital untuk memudahkan pengawasan. Kemudian pola pengawasan dibuat lebih intensif melalui pembentuk badan pengawasan khusus di bawah Kementerian Koperasi dan UKM.
“Kami juga menyarankan pembentukan lembaga penjaminan seperti LPS supaya koperasi bisa lebih bertahan lebih lama khususnya koperasi – koperasi yang sudah besar,” ujarnya.
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Indef sebut gagal bayar koperasi karena pengawasan lemah