Ia juga menyoroti saat ini semua pihak tengah kesulitan dan mengharapkan agar konsumen bisa memperoleh pengertian yang lebih baik, setelah mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dari utasnya.
Berikut ini cuplikan utasnya:
Di tengah wabah Covid-19, jumlah penerbangan sudah turun 80% - 90% di Indonesia, dan 65% di Asia Pasifik.
Situasi Covid-19 ini adalah tantangan berat bagi para airline dan hotel-hotel yang lagi pada kejepit karena biaya jalan terus, dan customer pada minta refund.
Namun ada lagi yang kejepit, yaitu travel agent yang sedang proses refund-refund ini.
Cerita dulu ya, 13 tahun yang lalu, maskapai-maskapai mulai pindah ke tiket elektronik dan mulai tidak terima pembayaran cash untuk tiap transaksi tiket.
Modelnya, travel agent setor uang ke maskapai di awal, dan diberi saldo kredit oleh maskapai, atau istilahnya dikenal sebagai Top Up Balance.
Kalau kita beli tiket ke travel agent, travel agent akan proses ke maskapai, lalu maskapai akan mengurangi saldo dari Top Up Balance senilai tiketnya.
Enak, enggak usah bawa-bawa cash lagi ke airline. Tapi, Top Up Balance ini enggak bisa dicairkan lagi jadi uang tunai.
Nah, kalau ada refund, travel agent mengajukan refund ke maskapai.
Setelah selesai diproses, maskapai akan mengembalikan refund tersebut kepada travel agent dalam bentuk saldo kredit Top Up Balance tadi.
Maskapai tidak refund ke travel agent dalam bentuk cash!
Umumnya, travel agent biasanya akan nalangin dulu refund ke customer (dalam bentuk cash/pengembalian limit kartu kredit), menggunakan cash milik travel agent yang didapat dari transaksi.
Gampang kan? Tapi, masalahnya kalau ada pembatalan massal dan tidak ada lagi penjualan seperti sekarang dengan adanya Covid-19, PSBB, pelarangan #mudik, dan lain-lain, mumet ini.