“Saya pakai konsep di atas danau dengan vila-vila di sekitarnya,” tandas dia.
Dengan konsep tersebut, praktis tamu yang menginap harus menyeberang naik perahu untuk menuju vila.
Jadilah Arief mantap membangun resor dengan jumlah vila sebanyak 22 unit ini dengan modal sekitar Rp 2 miliar.
Jika sebelumnya Arief lebih sering bolak-balik Garut-Bandung, sejak mendirikan Sampireun praktis ia menetap di Garut.
Baca: Cerita Pendiri McDonalds Jungkir Balik Membangun Bisnis dari Nol, Pernah Merasakan Ditipu
Yang unik, sewaktu mendirikan Sampireun, ternyata awalnya Arief tidak mengajukan IMB.
“Karena tempat ini bukan tempat untuk wisata, makanya saya pikir perlu mendekati masyarakat sekitarnya,” kenang dia.
Menurutnya, jika mengurus IMB dulu, ia perlu mengurus izin ke berbagai pihak, dari mulai pemegang saham, alim ulama, hingga ke pemerintah setempat.
Nyatanya, begitu pemerintah setempat melihat tindakannya ini bisa mendatangkan turis, praktis izin sudah di tangannya.
Bahkan, pembukaan Kampung Sampireun dilakukan oleh Menteri Pariwisata waktu itu, Marzuki Usman.
Dengan tarif paling murah Rp 1,6 juta semalam, tingkat okupansi Sampireun di akhir pekan bisa mencapai 95%.
Tak perlu heran, hanya dalam waktu 3 tahun Sampireun sudah balik modal. Sewaktu menetap di Garut, Arief melihat ada banyak kekayaan kuliner tradisional di sekitar kampung yang belum terangkat.
“Saya berpikir bagaimana mengemasnya? Tidak hanya berjualan tapi juga menyatu dengan kultur,” tandasnya.
Dari ide tersebut, Arief pun mendirikan Restoran Bumbu Desa tahun 2004 dengan modal sekitar Rp 2,5 miliar.
Sang ibu membantu penuh Arief untuk urusan menu.