TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan ( Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menjawab kritik berbagai pihak terkait polemik lonjakan utang pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, utang pemerintah, termasuk utang luar negeri Indonesia, sudah direncanakan jauh hari untuk menyeimbangkan postur APBN.
Perencanaan utang pemerintah sudah tertuang dalam Perpres 72/2020 tentang Penyesuaian Kembali Postur dan Rincian APBN 2020. Sri Mulyani mengkritik balik pihak-pihak yang mempermasalahkan kebijakan utang di era Presiden Jokowi tersebut.
Baca juga: Menurut Menkeu Sri Mulyani, Ini Alasan Presiden Jokowi Minta Libur Akhir Tahun Dikurangi
"Ada orang hari-hari ini suka bicara masalah utang, sampaikan saja bahwa di Perpres 72 waktu anggaran APBN 2020 dengan estimasi defisit sekian, itu pembiayaannya adalah dari SBN, pinjaman, ada yang bilateral maupun multilateral," kata Sri Mulyani dalam paparan APBN KiTa secara virtual, Senin (23/11/2020).
Baca juga: Rizal Ramli Kritik Jokowi Soal Utang Negara yang Terus Bertambah saat Pandemi: Makin Parah!
"Jadi waktu kita sedang menjalankan Perpres jangan kemudian muncul reaksi-reaksi. Seolah-olah kita seperti orang yang belum punya rencana. Itu kan semuanya isu dari Perpres 72 sudah diomongkan, sudah disampaikan ke publik," kata dia lagi.
Sri Mulyani yang juga mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menegaskan, tingkat utang dari negara-negara di dunia mengalami kenaikan akibat pandemi Covid-19.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, yang menurut dia tingkat utang Indonesia naik di kisaran 36 persen hingga 37 persen dari PDB, yang sebelumnya sebesar 30 persen dari PDB. Jumlah tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
"Namun bukan berarti kita tidak waspada, akan tetapi kita akan tetap menjaga semua kondisi, hal ini agar perekonomian tetap membaik dan kondisi fiskal tetap sustain," ujar Sri Mulyani.
Total utang Pemerintah RI
Total utang Indonesia sendiri tercatat hingga akhir September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun. Dengan demikian rasio utang pemerintah sebesar 36,41 persen terhadap PDB.
Total utang pemerintah terdiri dari pinjaman sebesar Rp 864,29 triliun dan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.892,57 triliun.
Bendahara Negara itu menjelaskan, negara-negara anggota G20 mengalami kenaikan tingkat utang yang luar biasa.
Untuk negara-negara yang masuk dalam kategori negara maju, tingkat utangnya mencapai 130 persen dari kondisi normal yang biasanya 100 persen. Sementara untuk negara berkembang yang biasanya rasio utang di kisaran 50 persen, meningkat menjadi di kisaran 60 persen hingga 70 persen.
"Dengan adanya dukungan countercyclical luar biasa di selruh negara dunia, tidak hanya negara G20, utang pemerintah di semua negara naik," jelas dia.