Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Coca Cola Amatil Indonesia mengungkap ada beberapa kendala yang dihadapi pihak swasta atau industri dalam menggunakan energi baru terbarukan (EBT).
Public Affairs, Communications and Sustainability Director Coca Cola Amatil Indonesia, Lucia Karina mengatakan, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah dalam mendorong pemanfaatan EBT yaitu penyederhanaan perizinan.
Baca juga: Pertamina Mampu Pertahankan Kinerja Kilang, Ketahanan Energi Bisa Terjaga
"Kami butuh enam bulan dapat sertifikat laik operasi atap solar panel," kata Karina dalam webinar Kompas bertema Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil, Selasa (2/3/2021).
Selain itu, kata Karina, penerapan EBT di industri juga menelan biaya investasi yang tidak sedikit.
Apalagi tidak diberikan insentif pemerintah Indonesia.
Baca juga: Tanda-tanda Anda Sensitif terhadap Kafein, Ini Alternatif untuk Membangkitkan Energi selain Kopi
"Kami bayar panel yang mahal, harusnya diberikan insentif seperti di Jerman. Kemudian, tantangannya tidak ada batas atas harga yang bisa dijangkau masyarakat dan industri, padahal di China itu diatur," katanya.
Karina menjelaskan, Coca Cola Amatil Indonesia pada 2019 telah memasang atap panel surya di pabrik terbesarnya di Cikarang Barat, dengan luas 72 ribu meter persegi.
Baca juga: Bertemu MenteriĀ ESDM, Bamsoet Dorong Pengembangan Energi Terbarukan untuk Kendaraan Listrik
"Ini fasilitas terbesar di sektor manufaktur. Sistem ini akan produksi 10 jt kwh per tahun dan akan capai puncaknya 17,3 kwh," katanya.
"Kami juga sedang lakukan feasibility studi di pabrik Semarang dan Pasuruan, untuk mengurangi jejak karbon," ujar Karina.