Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama menyatakan, dampak kenaikan yield Amerika Serikat (AS) Treasury hingga ke atas 1,5 persen tidak signifikan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.
Menurut dia, efek naiknya yield tidak sengeri itu karena diperkirakan pergerakan dolar AS secara teknikal justru masih berpeluang melemah ke bawah Rp 14.000.
"Pergerakan dolar ke depan itu jangka pendeknya sideways (mendatar).
Support dinamis maksudnya, ada naik turun antara Rp 13.800 hingga Rp 14.000," ujarnya saat dihubungi Tribunnews, belum lama ini.
Kendati demikian, rupiah dalam jangka panjang di tahun ini masih ada kemungkinan bergerak ke Rp 15.000 per dolar AS meski Negeri Paman Sam semakin banyak mencetak dolar AS.
Baca juga: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Dinilai Bisa Dorong Pemulihan UMKM
"Kalau level resisten dolar AS tahun ini bisa sampai Rp 14.950.
Sayangnya rupiah belum dapat ke bawah Rp 13.800 per dolar AS meski dengan pencetakan dolar AS besar-besaran," kata Nafan.
Selain itu, dia menjelaskan, Bank Indonesia (BI) kelihatannya sudah mentok juga dalam menurunkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate.
"Di sisi lain, kalau menaikkan suku bunga itu bagus untuk rupiah, tapi kapannya harus memantau ekonomi global.
BI terlalu optimistis (dengan suku bunga saat ini, bahwa kalau yield AS naik tidak semenakutkan itu karena hanya beralih investasi ke obligasi AS (Treasury)" pungkasnya.