Laporan Reporter Kontan, Yudho Winarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah tantangan saat ini menghadang sejumlah royek energi baru dan terbarukan (EBT) di beberapa wilayah di Indonesia.
Satu diantara tantangan tersebut terkait dengan pemahaman pemerintah kota/kabupaten yang masih belum serius mendukung proyek EBT yang tercakup dalam proyek strategis nasional.
Proyek Pengolah Sampah Energi Listrik atau PSEL Kota Tangerang adalah salah satu proyek strategis nasional yang masih belum merealisasikan pembangunan karena terhambat harga tarif EBT.
Proyek yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan sampah di TPA Rawa Kucing ini menjadi perhatian KPK yang beropini bahwa harga listrik dari proyek PSEL ini sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018, terlalu tinggi.
Akibatnya, KPK telah memberikan pernyataan publik bahwa kegiatan PSEL membebani anggaran negara.
Namun, persoalan listrik energi baru terbarukan (EBT) khususnya harga beli oleh PLN sudah semakin menampakkan titik terang.
Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) EBT tersebut akan memastikan regulasi apabila produsen listrik EBT menawarkan harga listrik USD 10 cent.
Baca juga: Target EBT 2025 Sebesar 23 Persen Disebut Sulit Dicapai
Namun biaya pokok produksi (BPP) pembangkit PLN di area setempat hanya USD 8 cent, maka yang USD 2 cent akan ditanggung pemerintah dengan diberikan ke PLN.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Chrisnawan Anditya dalam forum diskusi belum lama ini mengkonfirmasi bahwa selisih BPP tersebut pasti ditanggung pemerintah.
Baca juga: PT EMI Jadi Anak Usaha PLN Kuatkan Pengelolaan EBT
"Sehingga yang tadinya isu harga tinggi dan PLN enggak mau beli karena ujung-ujungnya biaya produksi naik, sedangkan tarif (listrik) tidak naik, ini sudah diatasi di R-Perpres itu," katanya dalam diskusi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan SUN Energy secara daring, pada Kamis (3/6/2021) lalu.
Menurut Chrisnawan, pemerintah memiliki target pemenuhan kebutuhan listrik sebanyak 23% bersumber EBT di tahun 2025 mendatang.
Beberapa regulasi terus dikejar agar bisa mengakomodir khususnya terkait harga patokan tertinggi (HPT) yang digunakan pada pembangkit kapasitas listrik di atas 5 MW, dan harga kesepakatan khusus PLTA Peaker semua kapasitas, PLTSa/PSEL, PLT BBN, hingga PLT tenaga laut semua kapasitas.
Menanggapi situasi yang dihadapi Pemkot Tangerang pasca munculnya rekomendasi KPK terkait kegiatan PSEL, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Basilio Dias Araujo menyarankan agar menanyakan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perihal pengelolaan sampah menjadi listrik (PSEL) di Kota Tangerang.
Pasalnya, saat ini KPK tengah melakukan monitoring pengelolaan sampah menjadi listrik, dan dampaknya Proyek Strategis Nasional itu pun akhirnya mandek.
"Silahkan tanya kepada Deputi Bidang Pencegahan dan monitoring KPK yang melarang Kota Tangerang mengolah sampah menjadi listrik dengan alasan terjadi pemborosan anggaran," kata Basilio ketika dikonfirmasi wartawan, Kamis (3/6/2021) terkait dengan terjadinya keluhan masyarakat atas pencemaran lingkungan di TPA Rawa Kucing.
Akibat masukan KPK tersebut, menurut Deputi Kemenkomarvest ini, membuat Walikota Tangerang enggan untuk menjalankan Proyek Strategis Nasional yang tercantum dalam Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 dan menimbang alternatif solusi lain diluar ketentuan Peraturan Presiden tersebut.
Padahal peraturan perundangan yang mendukung pelaksanaannya sudah sangat tegas. Bahkan, Undang-Undang 23 Tahun 2014 mewajibkan Kepala Daerah melaksanakan Proyek Strategis Nasional.
Kewajiban ini dijabarkan lebih lanjut dalam Perpres 109 tahun 2020 tentang daftar Proyek Strategis Nasional, dan dipercepat dengan berbagai dukungan fiskal dalam Perpres 35 Tahun 2018.
D isisi lain, revitalisasi atas TPA Rawa Kucing yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan diresmikan pada tahun 2019 seluas 5 hektare pun sudah tidak tersisa.
Investasi sebesar Rp 82,5 miliar menurut website Kementerian Pekerjaan Umum, telah seluruhnya tertimbun sampah dalam waktu 2 tahun sejak diserahterimakan.
Krisis sosial dan lingkungan baru sudah di depan mata di TPA yang jaraknya hanya 1,3 km dari Bandara Soekarno Hatta ini.
Bahkan, di bulan February 2021 yang lalu, anggota DPRD Kota Tangerang telah mendesak Pemerintah Kota Tangerang untuk merelokasi warga dis eputar TPA Rawa Kucing karena kondisi nya sudah tidak layak.