Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan, menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.
“Perpres 72 merupakan aturan turunan dari Pasal 12 ayat (2) Perppu No.1/2020. Begitu pula defisit APBN yang semula dibatasi 3% dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara diubah boleh melebihi 3% oleh Pasal 2 ayat 1 huruf a nomor 1 Perppu No.1/2020,” kata dia.
Kemudian, politisi dari Dapil Jabar IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) ini menambahkan, defisit melebihi 3% tersebut dibatasi hanya sampai 2022 saja. Tahun 2023 defisit sudah harus kembali ke maksimal 3% lagi.
Bahkan dalam masa peralihan menuju 3% tersebut angka defisit harus dilakukan secara bertahap. Artinya, defisit pada 2022 harus lebih rendah dari 2020 dan 2021.
“DPR mengapresiasi keberanian BPK menyatakan kekhawatiran tentang penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunganya. Namun, hendaknya secara utuh menjadikan UU No.2 Tahun 2020 sebagai pijakan hukum. Selain itu juga harus berani memberikan penilaian selain WTP,” papar Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI itu.
Hergun menuturkan adanya pembengkakan defisit hingga 6,14 persen dari PDB masih dalam koridor UU No.2/2020 sebagai upaya penanganan dampak pandemic Covid-19.
Namun terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun harus diaudit oleh BPK. Bila ini tidak ada kejelasan, maka pemerintah tidak layak mendapatkan opini WTP.
“Saya kira BPK jangan buru-buru memvonis pemerintah mengalami penurunan kemampuan membayar utang dan bunganya. Indikator yang dipakai BPK masih relatif lemah karena hanya merujuk pada rekomendasi IMF dan IDR,” tegas Hergun.
Lebih baik, kata Hergun, BPK mengaudit utang-utang tersebut terutama menyelidiki terjadinya SiLPA dalam jumlah yang fantastis tersebut. Karena adanya SiLPA membuktikkan pengelolaan utang pemerintah belum prudent dan terkesan ugal-ugalan.
Sejak 2012, rasio pendapatan negara terhadap belanja negara secara konsisten terus turun. Pada 2012 masih 89,7 persen, kemudian menjadi 84,9 persen, dan dalam dua tahun terakhir ini sudah berada di kisaran 63 persen. Lubang sebesar 37 persen ini jelas memberatkan pemerintah.
“Defisit yang makin lebar ini harus ditutupi, salah satunya melalui penghematan. Namun, saat ini penghematan penggunaan anggaran negara masih belum terlihat. Dalam pembukuan pemerintah pusat, keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan dengan belanja negara, tapi belum memasukkan pembayaran bunga dan pokok utang. Jika keseimbangan primer itu ditambah dengan pembayaran bunga utang, kemudian disebut sebagai neraca anggaran, defisitnya kian dalam,” ungkapnya.
"Dampak utang yang membengkak, negara harus membayar bunga utang mencapai Rp314,1 triliun pada 2020. Jika beban bunga ini bisa dilakukan negosiasi ulang dan atau restrukturisasi, alangkah lebih baik jika sebagian biaya bunga tersebut dialokasikan untuk memperkuat program perlindungan sosial. Saya kira ini yang harus dikejar BPK,” pungkas Hergun.