Laporan Wartawan Tribunnews.com, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kampanye negatif sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan terhadap sektor kehutanan Indonesia akan merugikan kepentingan ekonomi nasional.
Tekanan LSM internasional itu dilakukan dengan cara menuntut organisasi pengelolaan hutan lestari seperti Forest Stewardship Council (FSC) untuk menghapus keanggotan perusahaan kayu asal Indonesia.
Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo mengatakan, produk alam negara berkembang seperti dari Indonesia terus dihambat oleh berbagai kebijakan dagang dan kampanye negatif LSM.
Baca juga: LSM Anti-Korupsi di Jerman Surati Jokowi, Minta Pimpinan KPK Tak Pecat Pegawai Gagal TWK
Di posisi inilah, Indonesia harus berani tegas terhadap kampanye LSM yang mengganggu kepentingan ekonomi nasional.
“Harus dipahami, banyak LSM mengintervensi pembangunan dan sumber daya alam negara berkembang. Kedaulatan bangsa ini tidak boleh diganggu oleh kepentingan di dalam dan luar negeri,” ujarnya dalam keterangan pers tertulis, Kamis (22/7/2021).
Politisi Partai Golkar ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia berani bertindak tegas terhadap kampanye yang mengganggu kepentingan nasional.
Baca juga: Mensos Risma Gandeng LSM untuk Percepat Penyaluran Bantuan Bencana
Dia mencontohkan, Phil Aikman salah satu aktivis LSM dari Amerika Serikat, Mighty Earth, sering membuat kampanye negatif terhadap industri sumber daya alam Indonesia.
Tetapi hingga kini belum ada tindakan tegas dari pemerintah. Kendati, sering keluar masuk negara ini.
“Indonesia harus dapat mencontoh pemerintah India dan Brazil yang bertindak tegas kepada LSM asing di negaranya. Sebagai contoh, pemerintah Brasil hingga kini tidak pernah memberikan pengakuan bagi Greenpeace," ujar Firman.
"LSM yang beroperasi di Indonesia tetapi mengganggu kepentingan nasional. Seharusnya dilarang dan tidak boleh melakukan kegiatan di Indonesia,” tegas Firman.
Firman Subagyo juga mendesak adanya akuntabilitas dan transparansi dari NGO yang beroperasi di Indonesia.
“Mereka para LSM harus bisa mempertanggungjawaban sikap, tindakan, keputusan lembaga mereka kepada publik termasuk dalam soal pendanaan. Karena biasanya mereka menerima dana atau donasi dari luar dengan agenda tertentu,” ujarnya.
Dr. Sadino, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan mengatakan isu pembangunan sangatlah seksi bagi kampanye LSM.
Kampanye LSM menentang pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam di Indonesia. Padahal tanpa aktivitas ekonomi, bagaimana bisa membangun dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.
“Lebih biadab LSM yang menghambat pembangunan di daerah yang sedang membangun. Karena sama saja membiarkan masyarakat setempat tidak bisa berkembang dan semakin tertinggal,” ujarnya.
Berkaitan dengan sertifikasi produk hutan di Indonesia. pengamat kehutanan Dr.Petrus Gunarso menjelaskan, lembaga sertifikasi kayu seperti FSC ataupun PEFC memang dibentuk untuk memenuhi tuntutan pembeli di luar negeri.
Masing-masing membuat standar dan skema sertifikasi yang berbeda-beda. Di dalam negeri juga ada sertifikasi serupa seperti Lembaga Ekolabel Indonesia dan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu).
Petrus juga menjelaskan, di pasar internasional, perusahaaan kayu dari negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memenuhi standar negara pembeli seperti Eropa. Itu sebabnya, berdirilah lembaga seperti FSC yang menerbitkan logo dagang produk kayu.
“Masalahnya adalah pelaku bisnis di negara berkembang. Malahan dibuat ruwet karena harus memenuhi kriteria sustainability yang berbeda di antara lembaga sertifikasi kayu. Jadi, belum ada kriteria yang dibuat untuk standar internasional misalkan melalui ISO,” jelas Petrus.
Petrus mengingatkan, sertifikasi ini bagian dari strategi dagang. Perusahaan kayu diminta punya sertifikasi oleh pembeli di luar negeri. Kendati sifatnya voluntir.
Namun jika tidak memiliki sertifikat tersebut akan berakibat kesulitan masuk pasar ekspor. Tidak heran, beberapa lembaga sertifikasi hutan melibatkan jejaring LSM baik internasional dan lokal supaya perusahaan mempunyai sertifikat hutan lestari.
Dari data yang dihimpun, sejumlah LSM juga menekan lembaga sertifikasi hutan untuk mengeluarkan perusahaan dari yang menjadi anggota lembaga tersebut. Sebagai contoh, 19 LSM lokal dan internasional mengirimkan korespondensi surat kepada FSC.
Dalam isi surat tertanggal 26 Agustus 2020, tertulis ada tekanan kepada FSC untuk mengeluarkan perusahaan kayu dari Indonesia yang menjadi anggotanya.
Petrus Gunarso menilai kredibilitas lembaga sertifikasi seperti FSC dipertaruhkan apabila menerima mentah-mentah hasil investigasi LSM.
“Saat menerima laporan, seharusnya FSC verifikasi lapangan juga. Jangan langsung menerima dan sepakat dengan laporan LSM. Karena perusahaan kayu yang menjadi anggotanya telah bayar mahal (sertifikasi)," ujarnya.
"Selain ke lapangan, lembaga seperti FSC juga harus verifikasi ke pemerintah. Kalau itu tidak dilakukan akan berpengaruh kepada kredibilitasnya,” ungkap Petrus.