TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keinginan pemerintah untuk mempercepat bauran energi baru dan terbarukan menjadi 23 persen pada 2025 dengan membangun PLTS Atap berpotensi mengancam sistem kelistrikan.
Apalagi saat ini ada rencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Baca juga: Pembiayaan Rampung, Konstruksi Proyek PLTS Terapung Cirata Mulai Dikerjakan
Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan menjadi 100 persen atau naik 35 persen dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65 persen. Artinya, PLN harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.
Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Iwa Garniwa, mengungkapkan jika melihat data statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8 persen, China 2,8 persen dan Jepang 3,3 persen. Bahkan Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5 persen. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia.
Baca juga: Komitmen Transisi Energi, Pertamina Bidik Pemasangan PLTS 500 MW di Area Operasi Pertamina Group
Fakta kedua, sebanyak 68 persen pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah. Dari dua fakta ini Iwa menyarankan kita tidak boleh terburu-buru dan terlalu massif.
“Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan," ujar Iwa saat diskusi bersama media, Jumat (13/8/2021) sore.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus menekan energi berbasis fosil dari tahun ke tahun dengan mendorong secara masif peningkatan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengejar target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Baca juga: Pembangunan PLTSa Perlu Dukungan Pemerintah Pusat
Iwa mengingatkan tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sedangkan dari sisi PLN, listrik harus beroperasi dengan handal, berkualitas baik, dan ekonomis.
"Jadi sekarang kita masuk green energy. Green energy ini ndilalah mahal," katanya.
Lalu muncul soal PLTS Atap yang murah dan didorong untuk secara masif perkembangannya. Namun PLTS Atap bersifat intermitend atau tidak bisa berdiri sendiri.
"Saya kasih contoh, jika tiba-tiba awan lewat pasokan turun ke sistem. Lalu siapa yang memikul itu?" imbuh dia.
Menurut Iwa, sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa. Dari sisi itu bauran energi nasional harus kuat.
"Saya melihatnya begini, kita itu kebiasaan ingin gampang tidak smart. Paling gampang kan beli PV," ungkap dia.
Iwa menambahkan, masuknya PLTS Atap secara massif jangan melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga. Saat Photovoltic (PV) memakai pemikulnya PLN, maka akan ada batasan, baik batasan menyangkut keandalan maupun batasan dari sisi harga.
Di Indonesia itu ada 22 sistem, masing-masing sistem harus ada dibuat grid operasi. Karena itu, menurut guru besar teknik elektro Universitas Indonesia, harus dihitung berapa persen yang intermiten masuk dalam sistem agar memenuhi operasi yang handal, kualitas bagus dan mutu baik.
“Tidak bisa pokoknya EBT sebanyak-banyaknya. Tidak peduli terhadap hal itu barangkali pemutus kebijakan, Kok seperti tidak paham situasi,” tegas Iwa yang menamatkan sarjana teknik elektro bidan studi tenaga listrik di FT UI pada 1987.
Menurut dia, seolah-olah mau sebanyak-banyaknya dan didukung kemudahan dalam membeli panel listrik, namun tidak melihat dampaknya, yakni biaya pokok produksi PLN. Bayangkan jika di suatu komplek perumahan, 50 persen menggunakan rooftop tanpa baterai. Sementara PLN untuk menaruh gardu distribusi menghitung BPP.
“Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu 50 persen tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi,” kata Iwa.