“Truk-truk yang sudah ada sekarang disuruh dikosongi untuk mendapatkan truk baru. Yang bertumbuh nantinya malah cuma pabrik truk lah yang kontribusinya terhadap perekonomian kita bisa dikatakan sangat kecil dibanding industri-industri strategis nasional lainnya seperti beton ringan, kaca, semen, industri makanan dan minuman, kelapa sawit yang justru akan terpukul akibat kebijakan Zero ODOL yang terkesan terburu-buru ini.
Apalagi komponen truk itu kan impor semua. Jadi, kebijakan Zero ODOL itu malah jadi mendukung impor kan,” katanya.
"Bagi kami, truk yang sampai meleot di jalan itu silakan saja memang harus ditegakkan, tetapi kami memiliki aturan batas muatan yang diizinkan berdasarkan kelas jalan tertentu yang saat ini sangat rendah, sehingga yang bisa muat 8 ton jadi hanya 6 ton ini kan tidak ODOL," tukasnya.
Franky mengutarakan bahwa selama ini, baik produsen beton ringan dan asosiasi lain selalu menggunakan truk yang sesuai batas kemampuan angkutnya.
“Jadi, truk-truk kami dijamin muatannya itu tidak menyebabkan dia lambat di jalan, sehingga menyebabkan macet. Truk kami juga dijamin pada berat sumbu yang memadai untuk jalan kelas satu paling tidak,” tuturnya.
Yang menjadi kekhawatiran Proberindo adalah penegakan Zero ODOL dengan menggunakan jembatan timbang itu akan membatasi truk-truk untuk bisa membawa muatan sesuai kapasitasnya.
Misalnya, truk yang sebetulnya didesain bisa muat 12 ton atau 15 ton, tapi karena kapasitas jalan yang ditentukan Kemenhub itu levelnya masih di bawah kapasitas desain truknya, itu menyebabkan truk harus mengurangi jumlah muatannya.
“Jadi, kalau penegakan Zero ODOL berdasarkan pembatasan JBI yang masih mengacu kepada kelas jalan serendah itu, kekawatiran kita adalah terjadinya inefisiensi nasional.
Kenapa? Karena, truk-truk itu sebenarnya punya kapasitas angkut lebih, tapi situasi jalan-jalan kita yang masih banyak yang tidak sanggup untuk mendukungnya menyebabkan turk-truk itu harus mengurangi muatannya,” tandasnya.
Dia mengungkapkan jika Zero ODOL diterapkan berdasarkan pertimbangan JBI, produsen beton ringan harus menginvestasikan dana sebesar 65 persen dari jumlah truk yang ada sekarang untuk bisa mengangkut dengan kapasitas yang sama.
“Jadi kalau sekarang kami mengirim barang dengan menggunakan 100 truk per hari untuk satu pabrik, kalau ditegakkan begitu, kami harus menambah kira-kira 65 truk lagi, Bayangkan kalau kita mau mengirim 2000 truk per hari, kan kita mesti tambah 1.300 truk .
Mau cari dimana 1.300 supir. Padahal kapasitas truk itu sekarang sudah sanggup mengangkut tanpa masalah,” tukasnya.
Dengan adanya penambahan banyak truk itu, menurut Franky, tidak bisa dihindari akan membuat jalan semakin padat. “Terus parkirnya dimana mereka nanti, karena truk itu bukan cuma nambah jumlahnya, tapi pasti butuh tambahan tempat parkir. Itu juga kan harus dipikirkan pemerintah,” tegasnya.
Jika terjadi inefisiensi nasional, Franky mengatakan itu akan membuat daya saing industri nasional menjadi menurun.