TRIBUNNEWS.COM - Di tengah persaingan bisnis yang ketat, tidak sedikit para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang tetap mengedepankan semangat kekeluargaan dan gotong royong dengan saling bersinergi dan mendukung satu sama lain.
Hal tersebut dapat dilihat dari keberadaan Klaster Usaha Keripik Tempe di wilayah Kramat Pela, Jakarta Selatan.
Sepanjang Jalan H. Aom RT 9 RW 8 di Kelurahan Kramat Pela, Kebayoran Baru, akan terlihat tempe yang tergantung di rumah-rumah yang ada. Tidak heran, wilayah tersebut pun kerap dikenal sebagai ‘Gang Tempe’.
Di Klaster Usaha Keripik Tempe ini, terdapat 46 orang pengrajin tempe yang telah memiliki dapur serta merek masing-masing. Salah satu dari mereka adalah Joko Asori (56), yang telah lama berkecimpung di usaha pengolahan tempe.
Saat memulai usahanya 12 tahun yang lalu, Joko fokus pada pengolahan tempe mentah. Seiring berjalannya waktu, ia pun mulai beralih dan memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru, yaitu keripik tempe.
Usaha pengolahan tempe dan keripik tempe di Jalan H. Aom terus bertahan dan semakin berkembang dengan diwariskannya bisnis secara lintas generasi. Dengan pengalaman panjangnya, Joko pun diangkat sebagai ketua Klaster Usaha Keripik Tempe tersebut.
Joko menyebutkan, meski 46 orang pengrajin tempe di klaster tersebut memiliki ‘bendera’ sendiri-sendiri serta langganan dan dapur masing-masing, semuanya memiliki profesi yang sama
“Di sini kita satu profesi, yaitu pengrajin tempe. Meski ada yang tempe murni ada juga tempe keripik,” kata Joko.
“Walaupun ada 46 pengrajin keripik tempe, pasti sudah ada langganan masing-masing, dengan bendera yang berbeda-beda, salah satunya adalah Keripik Tempe Pak Joko,” lanjutnya.
Taati aturan dalam proses pembuatan
Kecermatan dan ketelitian merupakan faktor penting dalam menghasilkan tempe dan keripik tempe berkualitas.
Menurut Joko, proses pembuatan keripik tempe sendiri tidaklah singkat. Mulai dari merebus kedelai mentah, dicuci hingga bersih, dipotong dengan mesin, digoreng, dibumbui hingga akhirnya dikemas. Seluruh proses tersebut dapat memakan waktu empat hari.
“Jadi proses pembuatan untuk tempe itu 4 hari, bukan hanya sehari dua hari,” jelasnya.
Terlebih lagi, para pengrajin tempe di Klaster Usaha Keripik Tempe sangat taat mematuhi peraturan yang diberlakukan oleh Primer Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (PRIMKOPTI).
Selain menekankan kebersihan produk, PRIMKOPTI melarang keras penggunaan pewarna dan bahan kimia dalam pembuatan tempe.
“Kita sudah sepakat dari PRIMKOPTI dilarang keras memakai pewarna, karena tidak layak untuk dikonsumsi. Karena itu Inshaallah di wilayah sini semuanya higienis,” terang Joko.
“Di sini semua pengrajin rapi, tidak ada yang berceceran, sesuai dengan amanat dari pemerintah,” tambahnya.
Saat diwawancarai oleh Tribunnews, Joko pun menyebutkan bahwa kualitas dari produk tempe dan keripik tempe dapat terjaga dengan perkembangan alat yang digunakan dalam proses pembuatan.
Kini, para pengrajin telah menggunakan alat yang modern sehingga tidak meninggalkan limbah.
“Awalnya pengrajin tempe pakai pisau tipis. Namun seiring kemajuan zaman ternyata penggunaan alat tersebut tidak mencukupi, apalagi kalau yang goreng ada dua-tiga orang. Akhirnya pun beralih ke mesin potong,” ungkapnya.
Bertekad kuat untuk hadapi kendala yang ada
Bagi Joko, tekad yang bulat merupakan kunci dari kesuksesan usahanya. Pasalnya, ia mengaku bahwa kendala serta tantangan yang dihadapi dalam menjalankan usaha ini tidaklah sedikit.
Salah satu hal yang kerap menjadi tantangan adalah harga dari kacang kedelai. Sebagai bahan dasar dari tempe dan keripik tempe, kenaikan harga kacang kedelai turut meningkatkan biaya operasional. Hal ini pun sangat berimbas pada Joko dan pengrajin-pengrajin tempe di Klaster Usaha Keripik Tempe.
Mendaftarkan diri sebagai anggota Koperasi Pengrajin Tempe Indonesia (KOPTI) menjadi salah satu cara bagi Joko dan para pengrajin tempe lain untuk mengatasi kendala yang ada. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota koperasi, mereka bisa mendapatkan harga bahan baku yang lebih murah.
Kendala lain yang dihadapi adalah Izin Produksi Industri Rumah Tangga (PIRT). Menurutnya, para pengrajin tempe di Klaster Usaha Keripik Tempe masih kesulitan untuk mendapatkan PIRT.
“Berkendala mengenai masalah PIRT. Dengan 46 pengrajin, kurang lebih yang punya sekitar 7 atau 6, sisanya belum punya. Saat kita mendistribusikan produk ke tempat-tempat seperti supermarket, pasti diminta PIRT, tanpa itu tidak diterima. Sedangkan dalam pembuatan PIRT agak sulit,” jelas Joko.
Di masa pandemi ini, keberadaan Klaster Usaha Keripik Tempe telah berkontribusi dalam membuka lapangan kerja.
“Dari yang tadinya kena PHK atau nganggur sekarang pada menggoreng tempe,” ceritanya.
Karena itu, dengan diberikannya bantuan oleh PRIMKOPTI dalam mengadakan tembusan-tembusan ke Pemerintah, Joko berharap agar pemerintah dapat memberikan perhatian lebih serta bantuan bagi para pengrajin tempe.
Bergerak bersama BRI, berharap dapat lebih dikenal
Dengan adanya kendala serta tantangan yang dihadapi oleh para pelaku UMKM, termasuk para pengrajin di Klaster Usaha Keripik Tempe, Bank Rakyat Indonesia (BRI) hadir untuk memberikan bantuan bagi melalui program BRIncubator, inkubator bagi bisnis UMKM lokal.
Melalui program ini, BRI telah memberikan permodalan serta bantuan berupa alat-alat pengolahan produk, juga pembinaan bagi para pengrajin di Klaster Usaha Keripik Tempe.
“Alhamdulillah dari BRI ada KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang bunganya sangat rendah sekali dan dijalankan sesuai modal yang ada,” sebut Joko.
Ia dan para pengrajin lainnya di Klaster Usaha Keripik Tempe pun mayoritas telah menjadi nasabah BRI dan mempergunakan modal yang didapatkan untuk membeli bahan serta alat-alat produksi, mulai dari drum stainless hingga kompor gas.
Selain permodalan, BRI terus menunjukkan kepedulian terhadap keberadaan Klaster Usaha Keripik Tempe dengan menyalurkan bantuan langsung berupa pemberian 10 mesin potong dan 10 drum stainless ke para pengrajin tempe.
Joko menceritakan bahwa mesin yang dibutuhkan tersebut aslinya terdapat di Pekalongan, dan BRI telah berperan besar dalam menyalurkan kebutuhan terhadap alat tersebut di Klaster Usaha Keripik Tempe yang bertempat di Jakarta Selatan.
“Sangat-sangat membantu saya dan para pengrajin tempe di wilayah H. Aom ini,” ujarnya.
Menurutnya, baik pihak dari cabang maupun kantor pusat BRI kerap aktif dalam menunjukkan dan memberikan dukungan atas kebutuhan para pengrajin di Klaster Usaha Keripik Tempe.
Hal tersebut juga dilakukan dengan memberikan saran serta solusi untuk memecahkan tantangan bisnis yang dialami oleh Joko dan para anggota Klaster Usaha Keripik tempe.
“Termasuk juga dalam hal pemasaran. Pihak BRI membuka peluang untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas keripik tempe, dan kedua meningkatkan pemasaran,” ucap Joko.
Hingga kini, strategi pemasaran produk Keripik Tempe Pak Joko masih dilakukan dari mulut ke mulut. Karena itu, pemasaran online menjadi salah satu hal yang selanjutnya menjadi keinginan Joko.
“Saya sih sebenarnya pengen banget, gimana produk kita bisa berkembang, bisa maju, apa lagi dikenal se-Jabodetabek,” harapnya.
Dengan keinginannya tersebut, Ia sampaikan pembinaan terkait pemasaran online akan dilakukan dengan pendampingan dari BRI.
Mengemban tugas sebagai ketua dari Klaster Usaha Keripik Tempe, Joko juga berperan penting dalam mengoordinasikan bantuan-bantuan yang diberikan untuk para pengrajin, baik dari PRIMKOPTI maupun BRI.
Baginya, tugas yang dipercayakan kepadanya ini merupakan sebuah amanat, dan segala bantuan yang diberikan dari BRI ia pastikan akan dipergunakan dengan hati-hati dan semestinya.
“Saya sebagai ketua kelompok, mewakili 46 orang pengrajin merasa bersyukur dan berterima kasih kepada BRI,” tuturnya.
Joko pun berimpian agar produk keripik tempe miliknya serta para pengrajin lain dari Klaster Usaha Keripik Tempe dapat semakin dikenal semua kalangan.
“Cita-cita saya biar produk saya ini meningkat. Karena produk kami higienis, renyah, gurih, dan bergizi. Mudah-mudahan bisa semakin dikenal dan khususnya bisa berkembang,” tutup Joko.
Penulis: Anniza Kemala/Editor: Bardjan