TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan atau RUU EBT yang tengah dibahas pemerintah dan DPR RI harus menyerap aspirasi seluruh pihak, tak hanya berpatokan pada motif bisnis.
Akademisi ITS sekaligus mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Mukhtasor mengatakan narasi target 23% EBT di 2025 yang kerap didengungkan pemerintah saat ini tidak lengkap.
Menurut Mukhtasor, anggaran pemerintah di tengah pandemi Covid-19 ini, harus dimanfaatkan untuk banyak hal lain seperti sektor kesehatan.
"Apalagi kalau nanti harga listrik harus dinaikkan karena harga listriknya naik akibat feed in tariff pembangkit EBT, jangan sampai," ujar Mukhtasor dalam diskusi pengamat energi dan pegiat hak-hak konsumen dalam acara Polemik MNC Trijaya bertajuk "Regulasi EBT untuk Siapa?", Sabtu (4/9).
Baca juga: 4 Pria Tergeletak di Bawah Tiang Listrik Jalan Trans Kalimantan
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan RUU EBT harus mewakili kepentingan semua, khususnya stakeholder yang utama.
Kendati bertujuan positif, dia berharap regulasi yang dibuat tidak justru memberatkan konsumen di masa datang.
"Target bauran EBT 23% sekarang baru tercapai 11,5% artinya masih banyak yang harus dikejar. Tapi harus ada kebijakan yang adil untuk semua pihak," ucap Tulus.
Baca juga: Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap di Pembahasan RUU EBT
Sedangkan, Direktur Eksekutif IRRES Marwan Batubara mengkhawatirkan adanya motif bisnis dalam pembentukan regulasi tersebut.
Apalagi, jika mengesampingkan pendapat para akademisi dan pemangku kepentingan lain dalam pembahasan regulasi EBT tersebut.
"Terkesan bahwa mereka tidak menganggap penting aspirasi dari publik, terutama dari para pakar yang ada di kampus," imbuh Marwan.
Marwan bersama para akademisi dan ekonom telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan masukan tentang RUU EBT baru-baru ini.