"Adanya seruan ini seolah-olah tidak membuat kami untuk bangkit, padahal kami telah menunaikan kewajiban-kewajiban kami, seperti membayar pajak."
"Kami mohon Seruan ini bisa dicabut biar kami hidup kembali,” pinta Gunawan.
Para pelaku industri ritel modern termasuk minimarket, lanjut Gunawan, saat ini telah mematuhi ketentuan yang diatur dalam PP 109/2012.
Para pelaku usaha juga senantiasa melakukan edukasi kepada konsumen.
“Kita mengedukasi, bahwa produk rokok untuk usia 18 tahun ke atas."
"Kami peritel yang bertanggung jawab. Kami makin sulit dengan adanya seruan ini,” tambahnya.
Dari sisi hukum, Pengamat Hukum Universitas Trisaki Ali Ridho mengatakan, ada anomali policy rule yang berkelanjutan dari penguasa, kreativitas yang keluar dari batas.
"Seruan itu sifat hanya imbauan, tidak lebih dari itu."
"Oleh karenanya, kalau isinya baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka silakan diikuti."
"Tapi kalau sebaliknya, maka haram hukumnya untuk diikuti,” ucap Ali Ridho.
Menurutnya, seharusnya Seruan Gubernur tersebut tidak mengikat, karena bukan produk hukum yang bersifat mengatur.
Bahkan kedudukan Seruan Gubernur dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU 12/2011 jo UU 15/2019 pun tidak diakui.
Dia menambahkan, Seruan Gubernur tersebut tidak hanya tumpang tindih, tapi juga bertentangan dengan PP 109/2012 dan berbagai putusan MK, seperti putusan MK Nomor 54 Tahun 2008.
“Fakta hukumnya clear, bahwa kata MK regulasi hukum di Indonesia tidak pernah menempatkan rokok sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan,” beber Ali Ridho.
artikel ini sudah tayang di Wartakotalive.com, dengan judul: Seruan Gubernur DKI Dinilai Bikin Pengusaha Tembakau dan Ritel Semakin Terpuruk di Tengah Pandemi