Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Aktivis 98 Fernando Emas menyoroti kinerja Krakatau Steel (KS) menyusul melonjaknya impor baja nasional sebesar 66 persen selama periode Januari-Agustus 2021 dibanding periode yang sama tahun 2020, seperti diungkap Silmy Karim, Ketua Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) yang juga Dirut PT Krakatau Steel Tbk
Dia mengatakan, persoalan impor baja adalah bentuk kegagalan Krakatau Steel (KS) yang tidak mampu menyediakan bahan baku baja di dalam negeri, walaupun investasi yang ditanam di BUMN ini sudah triliunan rupiah.
"Hal tersebut sangat miris lantaran nampak ketidakmampuan Krakatau Steel menyediakan bahan baku baja dalam negeri. Padahal investasi yang ditanam di BUMN ini sudah triliunan rupiah,” ujar Fernando Emas kepada wartawan, Minggu (19/9/2021).
Dia menyebut proyek PT. Meratus Jaya Iron and Steel, anak perusahaan KS yang ada di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang sudah menyerap dana negara 2 triliunan lebih dari target 3,9 Triliun seharusnya bisa menutup defisit impor baja nasional.
Baca juga: Kinerja Krakatau Steel Makin Positif, Per Juli 2021 Raih Laba Bersih Rp 609 Miliar
"Jika terealisasi, pabrik tersebut dapat menghasilkan slab, billet, dan bloom dari pengolahan biji besi. Saat ini impor slab, billet, dan bloom nasional mencapai 3 juta ton yang diimpor oleh KS dan Anggota ISIA lainnya dengan nilai miliaran dollar per tahunnya," kata Fernando dalam keterangannya, Minggu (19/9/2021).
Baca juga: Krakatau Steel Catatkan Nilai Penjualan Rp 17,7 Triliun hingga Juli 2021
Hal itu karena, dikatakan Fernando, slab, billet, dan bloom merupakan bahan baku utama industri baja dan semuanya belum dapat diproduksi di dalam negeri.
"Ini bentuk kegagalan KS yang dipimpin Silmy Karim. Negara mengandalkan BUMN ini tetapi tidak dapat terwujud”, kata Fernando.
Baca juga: Serbuan Baja Impor, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Dalam Negeri
Lebih jauh, Fernando mengatakan KS tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus.
"Industri-industri itu tidak akan berkembang secara maksimal selama bahan baku bajanya tidak dapat dipasok dari dalam negeri," katanya.
Alih-alih berusaha untuk melakukan diversifikasi produk, Fernando menilai KS justru melakukan ekspansi ke sektor konstruksi yang merupakan sektor hilir.
Hal ini, tambah Fernando, dikhawatirkan akan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat pada sektor hilir, mengingat saat ini sektor tersebut banyak diisi oleh industri berskala kecil-menengah (IKM).
Fernando mengatakan KS juga telah menikmati uang negara yang besar termasuk perlindungan BMAD.
"Kinerja KS perlu dievaluasi lebih mendalam, mulai dari kebijakan perusahaan hingga operasionalnya. Saran saya, sudah saatnya KS memperoleh pimpinan baru yang mampu berpikir secara strategis dan visioner”, imbuh Fernando.