Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Inovasi dan capaian-capaian ekonomi memerlukan dukungan investasi dan insentif dari Pemerintah.
Negara-negara maju, seperti Inggris, Singapura, dan Australia misalnya, memiliki sejarah panjang dalam mendorong inovasi, salah satunya dengan memberikan insentif fiskal yang tepat terhadap produk inovasi yang dikembangkan.
Utamanya dalam kondisi pemulihan ekonomi seperti yang saat ini sedang didorong oleh negara, memberikan ruang fiskal pada pajak dan cukai dapat berpotensi mengubah perilaku produksi dan menstimulasi tetap terjadinya pergerakan ekonomi yang inovatif.
“Indonesia memiliki dua tujuan cukai rokok, untuk mengurangi konsumsi dan mendapatkan pemasukan negara. Cara agar pajak rokok bisa efficient dan equitable adalah pajak yang mengurangi konsumsi, tetapi tetap adil untuk kompetisi industri, mendukung produk yang lebih rendah risiko, dan mempertimbangkan faktor perilaku di dalamnya. Karena harga bukanlah satu-satunya faktor dalam perilaku merokok. Budaya, lingkungan dan kebiasaan juga dapat berpengaruh,” ungkap Artidiatun Adji, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada dalam Webinar The New Wave of Innovation Policies in Asia, beberapa waktu lalu.
Terkait cukai untuk produk rendah risiko, Arti melanjutkan, dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) perlu diterapkan diferensiasi tarif dan insentif pajak untuk produk yang memiliki risiko lebih rendah.
Saat ini cukai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) diatur oleh PMK No.198/PMK.010/2020.
Meskipun disinyalir lebih rendah risiko, HPTL dikenakan cukai maksimal sebesar 57 persen dengan sistem ad valorem.
Padahal menurut Arti, tarif ad valorem lebih tepat digunakan untuk meningkatkan pendapatan dari cukai barang mewah.
Bahkan, dalam aturan yang sama ada diferensiasi antara cukai yang diterapkan bagi produk vape sistem tertutup yang lebih tinggi 11 kali lipat jika dibanding vape sistem terbuka.
“Jika memang cukai diarahkan untuk mengontrol konsumsi, baik konsumsi produk tembakau konvensional ataupun non-konvensional, dan juga produk risiko tinggi ataupun berisiko lebih rendah, maka pengenaan sistem cukai yang spesifik adalah yang paling baik,” tegas Arti.
Penerapan insentif untuk inovasi di Indonesia
Penerapan skema pajak yang lebih ramah untuk produk inovatif rendah risiko bukanlah hal baru.
Dalam sektor energi terbarukan, misalnya, Pemerintah memberikan insentif fiskal bagi industri agar dapat mencapai target bauran energi sebesar 23 persen pada 2025.
Pemerintah juga memberikan insentif untuk mobil listrik yang ramah lingkungan.
Produk inovatif rendah risiko lainnya, seperti rokok elektrik, justru mendapatkan perlakuan berbeda.
Belum ada insentif yang diberikan, menyusul pro dan kontra yang terus melekat pada produk.
Padahal, jika mengambil contoh dari negara-negara maju seperti Inggris, Jepang, dan Selandia Baru, ruang fiskal berupa insentif pajak diberikan sebagai upaya untuk mengurangi prevalensi jumlah perokok di negara-negara tersebut.
Terbukti, angka perokok di Inggris misalnya, mengalami penurunan dari 14,4 persen menjadi 14,1 persen, atau setara 6,9 juta orang pada 2019.
Penurunan serupa juga terjadi di Jepang, yang berhasil mencapai angka perokok pria di bawah 30 persen untuk pertama kalinya pada 2019 yang lalu.
Data tersebut menegaskan bahwa produk inovatif perlu mendapatkan insentif dari Pemerintah agar dampaknya dapat terasa secara optimal.
Untuk produk HPTL, selain penerapan cukai berbasis risiko, insentif fiskal dapat berupa kesetaraan dalam berbisnis untuk setiap jenis produk yang dikembangkan agar inovasi dapat bertumbuh secara merata, termasuk untuk tembakau yang dipanaskan, vape sistem terbuka maupun tertutup.
“Usul kami, perbedaan tarif ini perlu untuk produk yang mendukung pertumbuhan secara berkelanjutan, dan terus berinovasi untuk mengurangi risiko, termasuk produk tembakau alternatif,” kata Arti.