Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) merestui penggunaan APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, akibat membengkaknya biaya investasi pada proyek tersebut.
Aliran dana negara, nantinya dengan penyertaan modal negara yang diberikan kepada pimpinan konsorsium yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Pengamat BUMN Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, dalam situasi darurat terkait keberlangsungan proyek, maka suntikan modal dari pemerintah memang bisa menjadi alternatif solusi.
“Ini alternatif yang tidak ideal, namun karena situasi emergency maka kelihatannya PMN dalam jangka pendek ini bisa menjadi solusi alternatif,” kata Toto melalui pesan singkatnya, Rabu (13/10/2021).
Menurutnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung memang menggunakan skema business to business (B to B), dan saat ini progres pembangunan proyek sudah lebih dari 70 persen.
Adapun entitas pemilik proyek ini adalah PT Kereta Cepat Indonesia - China (KCIC) yang terdiri atas konsorsium BUMN dan perusahaan asal China.
Baca juga: Arya Sinulingga Pastikan Tak Ada Potensi Korupsi Terkait Bengkaknya Biaya Pembangunan Kereta Cepat
"Lalu ada masalah dari sisi financing proyek, terutama terjadinya cost overrun project. Ini menimbulkan kesulitan karena konsorsium lokal dari BUMN agak kesulitan likuiditas akibat situasi pandemi," paparnya.
Mengingat progres pembangunan yang sudah mencapai 70 persen, kata Toto, maka perlu dilakukan langkah penyelamatan, apalagi situasi dunia usaha masih terkena dampak pandemi Covid-19.
Lebih lanjut Toto mengatakan, hampir semua perusahaan pelat merah mengalami kinerja buruk selama pandemi, di mana profit konsolidasi BUMN tahun lalu hanya sekitar Rp 30 triliun, berbanding terbalik dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 120 triliun.
"Dalam kondisi dunia usaha yang masih terkena dampak pandemi, maka sulit mencari dana talangan yang bersifat B to B," tuturnya.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan KCIC Mirza Soraya menjelaskan, alasan biaya pembangunan proyek kereta cepat membengkak dari semula 6,07 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 114,4 triliun.
“Salah satunya pengadaan lahan. Banyak faktor di lapangan yang membuat akhirnya biaya bertambah. Seperti relokasi fasilitas umum dan sosial. Hal ini menambah luas pengadaan lahan bertambah,” kata Mirza.
Selain itu, terjadinya overrun disebabkan karena penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api.