"Saya klarifikasi sejak awal. Hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi," kata Yustinus.
Yustinus menjelaskan, utang tersebut dihasilkan melalui skema Business to Business (B-to-B) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle (SPV) maupun perusahaan patungan dan swasta.
Karena utang B-to-B, utang ini tidak tercatat sebagai utang pemerintah.
Utang pun bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.
Maka kata dia, utang ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan usaha yang meminjam.
"Ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Meski demikian, tata kelola kita kredibel dan akuntabel soal ini," ungkap Yustinus.
Dia mengungkapkan, penarikan utang luar negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah maupun badan usaha selalu tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI).
Semua data statistik ini dapat diakses oleh publik.
Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari China sebesar 21,12 miliar dollar AS.
Utang tersebut terdiri dari utang yang dikelola Pemerintah sebesar 1,66 miliar dollar AS atau 0,8 persen dari total ULN Pemerintah, serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai 19,46 miliar dollar AS.
SULNI kata Yustinus, disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan. Clear dan transparan.
"Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yang disembunyikan atau sembunyi-sembunyi," tukas Yustinus.
Lebih lanjut dia menyatakan, utang BUMN yang dijamin pemerintah dianggap sebagai kewajiban kontinjensi Pemerintah.
Namun perlu diingat, kewajiban kontinjensi tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah, sepanjang mitigasi risiko default dijalankan.