"Kalau gunakan modul domestik, harga rata-rata US$ 28 sen hingga US$ 30 sen per watt pick. Sedangkan kalau impor produk tiruan dari luar negeri bisa US$ 20 sen per watt pick, bahkan bisa US$ 16 sen hingga US$ 18 sen per watt pick kalau skala besar," papar Fabby.
Alasan harga modul luar negeri bisa lebih murah, lantaran industri panel surya di luar negeri sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir, khususnya di China. Dengan begitu, harga antara produk domestik dan luar negeri masih sangat kompetitif.
Di sisi lain, Len Industri kabarnya tengah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan salah satu perusahaan di China, untuk bisa membangun pabrik solar panel. Rencana tersebut disambut baik oleh Fabby, dengan harapan bisa memangkas biaya pemanfaatan solar panel di Tanah Air.
"Tapi untuk bersaing harga atau sama dengan kalau impor modul dari China rasanya sulit, karena mereka sudah terintegrasi mulai dari silika, ingot, wafer, sel, modul dan industri pendukungnya. Sedangkan di sini mungkin baru sel dan modul suryanya, jadi rasanya belum mendukung, kecuali kita bisa bangun mulai dari industri hulunya," jelasnya.
Fabby memprediksi kapasitas produksi atau kebutuhan solar panel di 2022 bisa meningkat 1 GigaWatt (GW) dibandingkat saat ini yang masih di 500 MW. Apalagi dengan permintaan dari komersial industri dan rumah tangga yang diproyeksi naik, disertai proyek beberapa proyek Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa berjalan mulus, maka kapasitas tahun ini saja sudah bisa meningkat.
"Kalau proyek-proyek PLN jalan, yang di Cirata, Bali jalan, itu kebutuhan bisa 700 MW - 800MW dan kemungkinan 2022 bisa 1GW," tandasnya.