Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vape adalah satu produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang berkembang cukup pesat dalam satu dekade terakhir.
Saat ini, industri vape mampu membuka lapangan pekerjaan bagi 50 ribu tenaga kerja di seluruh Indonesia, dengan jumlah peminat produk hingga 2,2 juta pengguna.
Di awal kemunculannya pada 2012 lalu, banyak kekhawatiran akan penggunaan alat vape, dan beredar informasi mengenai malfungsi pada device.
Namun, seiring dengan perkembangan industrinya, produsen vape terus mengembangkan teknologi untuk memberikan pilihan terbaik pagi penggunanya, sekaligus mengurangi risiko yang tidak diinginkan terkait produk.
Salah satu inovasi terkini adalah varian sistem tertutup (closed system).
Varian ini menyatukan likuid, cartridge, dan coil dalam satu unit dan diproduksi oleh masing-masing pemilik merek, sehingga tidak dapat diutak-atik oleh pengguna sesuka hatinya.
Pengurangan risiko ini diamini oleh Yudhistira Saputra, General Manager RELX.
“Vape sistem tertutup atau closed system menggunakan cairan nikotin (e-liquid) yang sudah dikemas yang dapat digunakan dengan perangkat vaping namun tidak dapat diisi ulang sehingga lebih aman dan tidak terkontaminasi dengan material lain di luar cairan yang diisi dari pabrik,” jelasnya lewat keterangan tertulis, Jumat (26/11/2021).
Baca juga: Sistem Tarif Cukai untuk Produk Vape Dinilai Masih Ada Ketimpangan
Kebijakan cukai belum sejalan
Meski terbilang lebih minim risiko, Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) No.198/PMK.010/2020 justru mengenakan harga jual eceran (HJE) yang jauh lebih tinggi daripada varian open system dengan pengenaan cukai menggunakan sistem ad valorem, sehingga otomatis tarif cukai menjadi lebih tinggi pada closed system.
Menurut Yudhistira, cukai untuk industri vape sistem tertutup bukan di ad valorem, tetapi lebih ke pengkategorian sistem tertutup di dalam bentuk cartridge, di mana jumlah maksimum cairan yang bisa diisi per cartridge adalah 2ml tetapi harga jual eceran (HJE) minimum adalah Rp30.000 per cartridge, di mana jika dibandingkan dengan sistem terbuka HJE minimum per ml adalah Rp666.
Jika kita bandingkan HJE untuk jumlah yang sama maka sistem tertutup akan membayar cukai sebesar 23 kali lipat dibandingkan dengan sistem terbuka.
“Sistem cukai yang ada saat ini seharusnya disetarakan dengan sistem terbuka karena prinsip dari vape adalah sama-sama cairan nikotin, hanya packaging-nya yang berbeda,” ujar Yudhistira.
Sementara, apabila kita mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, jelas tercantum bahwa cukai dikenakan terhadap hasil tembakau, dan bukan kemasannya. Sehingga penerapan tarif saat ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang.
Baca juga: APPNINDO Menilai Cukai Vape Perlu Ditinjau Ulang
Rekognisi terhadap HPTL kurangi produk ilegal
Selama ini, PMK No.198/PMK.010/2020 adalah satu-satunya peraturan yang mencakup vape.
Hal ini dihargai para pemain industri sebagai bentuk pengakuan terhadap produk vape.
Belum lama ini juga beredar kabar bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sudah memasukkan vape ke dalamnya.
Sebagai pelaku industri, Yudhistira menekankan bahwa aturan cukai yang berimbang memegang peranan penting untuk mendukung perdagangan yang sah di industri.
“Tarif cukai yang terlalu tinggi untuk Sistem Tertutup telah menyebabkan peningkatan aktivitas perdagangan gelap produk Sistem Tertutup. Hal ini berimplikasi pada hilangnya pendapatan pajak, produk yang tidak diatur di pasar, gangguan harga pasar untuk industri, serta potensi risiko kesehatan yang signifikan bagi pengguna,” kata Yudhistira.