Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penetapan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) inkonstitusional bersyarat mendapat respons dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menyinggung nasib tenaga kerja atau buruh jika UU Cipta Kerja mesti direvisi sebelum 2023.
Bahkan jika proses revisi sudah rampung pun, dia memandang nasib buruh tidak mendapatkan jaminan lebih baik dari saat ini.
"Nasib tenaga kerja pada 2023 setelah UU Ciptaker selesai direvisi masih belum bisa dipastikan apakah lebih baik atau tidak," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, ditulis Minggu (28/11/2021).
Menurut Amin, hal tersebut tergantung pada komitmen semua pihak, terutama pemerintah dan pelaku usaha untuk serius menciptakan lapangan kerja.
Baca juga: Menkumham Sebut Revisi UU Cipta Kerja Selesai Sebelum Dua Tahun
Keputusan MK tersebut dinilainya berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia karena bisa jadi akan ada revisi terhadap persyaratan yang sudah dipermudah dalam UU Cipta Kerja.
"Namun demikian, dalam UU Ciptaker ada pasal-pasal tentang investasi yaitu tentang LPI (Lembaga Pengelola Investasi) yang tidak mengubah UU eksisting. Bab tentang investasi pemerintah, harusnya tidak masuk bagian yang wajib direvisi dalam amar putusan MK tentang keharusan revisi UU Ciptaker," pungkas juru bicara Fraksi PKS tersebut.
UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat
Uji materi omnibus law Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuahkan hasil positif. Omnibus law UU 11/2020 Cipta Kerja diputuskan inkonstitusional.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU 11/2020 Cipta Kerja yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).
"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Anwar.
Adapun dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.
Baca juga: Anggota Baleg DPR: Putusan MK tidak Membatalkan UU Cipta Kerja