Laporan Wartawan Tribunnews, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM - Pengakuan korban nasabah asuransi unit link mendadak heboh. Hal ini setelah uang di polis asuransi hilang, padahal dia sudah mengikuti asuransi itu sejak 2013.
Komunitas Korban Asuransi mengeluh ke Komisi XI DPR tentang produk unit link yang ditawarkan oleh sejumlah perusahaan.
Hal itu disampaikan dalam pertemuan khusus kedua belah pihak bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin (6/12/2021).
Seperti diberitakan Tribunnews.com, anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera memberlakukan penghentian sementara atau moratorium atas penjualan produk asuransi unit link.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Industri DPR telah mengajukan permintaan moratorium tersebut ke OJK.
Menurutnya, permintaan panja di Komisi XI DPR tersebut akan membuka opsi-opsi boleh atau tidak perusahaan asuransi menjual produk unit link di masa depan.
Baca juga: AAJI Klaim Unit Link Bukan Produk Asuransi Berkedok Investasi, Banyak yang Belum Paham
Menanggapi usulan Komisi XI DPR-RI terkait moratorium produk unitlink, praktisi hukum, Grace Bintang Hidayanti Sihotang, menilai usulan Komisi XI DPR terkait moratorium unitlink sangat tidak dimungkinkan.
Baca juga: Kontroversi Unit Link, Nasehat Perencana Keuangan: Hasil Investasi Bukan untuk Dicairkan, Tapi . . .
Managing Partner dari kantor pengacara HSPLaw itu mengungkapkan perjanjian asuransi (dalam produk unitlink) merupakan perjanjian perdata bukan dalam ranah hukum publik.
Pengajar tindak pidana ekonomi di Universitas Terbuka ini berpendapat, dalam perjanjian perdata berlaku pacta sunt servanda (perjanjian harus ditepati).
Perjanjian berfungsi sebagai Undang-Undang (UU) bagi pihak-pihak yang berjanji.
Jadi, kata dia, jika pemerintah, regulator atau pembuat kebijakan melakukan moratorium terhadap hal yang diatur dalam perjanjian keperdataan, secara tidak langsung sudah melanggar ketentuan.
Baca juga: Cerita Para Nasabah Asuransi Unit Link yang Dananya Mendadak Nol
Hal itu, terutama ketentuan nomor 2 dari persyaratan sebuah diskresi, yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Sebab, ya itu tadi, perjanjian adalah hukum bagi pihak yang berjanji (Pacta Sunt Servanda). Hal ini dinilai akan berpotensi tidak baik terhadap asas kepastian hukum," kata dia.
Bisa saja, menurut Grace, kelak semua perjanjian jika orang mau membatalkan, akan langsung dimintakan moratoriumnya dan itu akan mengakibatkan kekacauan dalam negara.