Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga, Rahma Gafmi menilai pemerintah Indonesia perlu mewaspadai inflasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara di Eropa.
"Memang hingga akhir 2021 tidak akan berdampak terhadap Indonesia. Tapi perlu diwaspadai tahun 2022 dan paruh tahun 2023," ucap Rahma saat dikonfirmasi, Selasa (14/12/2021).
Menurut Rahma, ada risiko inflasi yang tetap tinggi untuk waktu yang lama.
Baca juga: IHSG Hari Ini Berpeluang Melemah Lagi, Investor Cermati Rilis Data Inflasi dan Manufaktur
Hal tersebut harus dipertimbangkan pemerintah secara serius karena implikasinya bagi Bank Sentral dan kebijakan moneter.
"Karena pembalikan kebijakan yang tiba-tiba dapat menyebabkan penurunan yang cukup parah di pasar keuangan dan secara signifikan merusak neraca sektor publik," tutur Rahma.
Rahma berpandangan, Bank Sentral dan Bank Komersial harus mengembangkan rencana konkret untuk menghadapi inflasi yang terus meningkat.
"Dengan fokus khusus pada kebijakan neraca mereka di dunia dengan kenaikan suku bunga nominal," kata Rahma.
Baca juga: Inflasi November Diprediksi 0,34 Persen, Komoditas Telur Ayam Ras Jadi Penyumbang Utama
Sebab, lanjut dia, pergeseran kebijakan yang tiba-tiba akan sangat berisiko. Pengetatan moneter seperti itu kemungkinan akan menyebabkan jatuhnya harga aset dengan cepat.
"Termasuk mengakhiri booming perumahan yang paling terkoordinasi di dunia. Mengingat tambahan utang dan leverage yang tinggi dari sektor korporasi non-keuangan swasta, hal itu dapat menyebabkan peningkatan tajam dalam kebangkrutan dan kredit bermasalah (NPL)," imbuh Rahma.
Rahma mengkhawatirkan efeknya pada neraca sektor publik yang akan berpengaruh negatif. Penerimaan pajak akan turun, sementara pengeluaran sektor publik dan pembayaran utang akan meningkat tajam.
"Tapi ini adalah skenario terburuk dengan kemungkinan kecil terjadi setelah 2022. Namun saya tidak terlalu tertarik dengan harga saham yang begitu tinggi di Wall Street hanya didorong naik dan turun oleh likuiditas yang berlimpah dan suku bunga riil negatif karena itu nanti juga sangat membahayakan. Bisa-bisa terjadi buble economics," kata Rahma.
Sebelumnya diberitakan, pada Oktober 2021 Amerika Serikat mengalami inflasi terburuk dari yang pernah ada, yaitu 6,2 persen. Selain itu, pada bulan November inflasi di AS tersebut kembali naik menjadi 6,8 persen.
Sehingga dari kabar tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengimbau agar Indonesia harus bersiap melakukan proteksi terhadap tekanan yang bisa terjadi.
Sentuh Level Tertinggi dalam 39 Tahun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemulihan ekonomi Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh penanganan Covid-19.
Akan tetapi, Inflasi global juga turut memengaruhi, khususnya di negara maju.
“Kita harus tetap waspada dari lingkungan global seperti negara maju yang melakukan penyesuaian kebijakan,” kata Sri Mulyani dalam webinar Hadapi Bersama Perubahan Iklim dan Strategi Ekonomi Hijau, Selasa (14/12/2021), seperti dilansir dari KONTAN dalam artikel "Inflasi AS memburuk, Sri Mulyani sebut pemerintah tetap waspada".
Baca juga: GoSend Sameday Hadir di Surabaya, Solusi Pengiriman Ekonomis untuk UMKM!
Hal ini terbukti, di beberapa negara maju mengalami proses pemulihan ekonomi yang lebih cepat dan meninggalkan negara lainnya. Akibatnya inflasi ekonomi di negara-negara tersebut meningkat drastis.
Pada Oktober 2021 Amerika Serikat mengalami inflasi terburuk dari yang pernah ada, yaitu 6,2 persen.
Selain itu, pada bulan November inflasi di AS tersebut kembali naik menjadi 6,8 persen.
Sehingga dari kabar tersebut, Sri Mulyani menghimbau agar Indonesia harus bersiap melakukan proteksi terhadap tekanan yang bisa terjadi.
Baca juga: Rupiah Hari Ini Diprediksi Melemah karena Data Inflasi AS
Peningkatan inflasi, juga terjadi di negara-negara Eropa yang mengalami sebesar 4 persen.
Setelah sebelumnya inflasi di Eropa mendekati 0 persen atau malah mengalami deflasi saat kondisi pra pandemi.
Sri Mulyani bilang, kondisi ini seharusnya diantisipasi untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Baca juga: Survei Harga Pekan I Desember Terkendali, BI Prediksi Inflasi Tahun 2021 Sebesar 1,55 Persen
Sebab kenaikan inflasi di negara-negara maju bisa berdampak langsung pada negara-negara berkembag dan negara pasar seperti Indonesia.
Sebelumnya, Amerika Serikat mencatatkan kondisi inflasi terburuk pada November 2021.
Inflasi di negara adidaya ini mencapai level tertinggi dalam 39 tahun pada November 2021.
Pemicunya karena ekonomi negara itu yang masih bergulat dengan dampak pandemi Covid-19 mendorong kenaikan permintaan konsumen serta adanya gangguan rantai pasokan yang terus-menerus, ditambah dengan kurangnya tenaga kerja.
Dikutip dari laman USA Today, Senin (13/12/2021) indeks harga konsumen di AS melonjak 6,8 persen dari tahun sebelumnya, dan merupakan laju tercepat sejak 1982.