Laporan Reporter Kontan, Bidara Pink
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi dan menaikkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 5,1 persen atau naik Rp 225.667 menjadi Rp 4.641.854.
Kenaikan UMP DKI Jakarta tahun ini lebih besar dari sebelumnya yang hanya sekitar 0,85% atau sebesar Rp 37.749.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengapresiasi langkah yang diambil Anies ini. Bhima menilai, peningkatan upah ini akan melindungi masyarakat, terutama kelas menengah.
“Semakin tinggi kenaikan upah, maka bisa meningkatkan daya beli masyarakat, dan akan mendorong permintaan masyarakat,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (20/12/2021).
Ini pun kemudian memberikan efek multiplier, yaitu meningkatnya konsumsi rumah tangga DKI Jakarta yang juga memberi sumbangan kepada konsumsi rumah tangga secara nasional.
Baca juga: Pejabat Kemnaker: Keputusan Anies Naikkan UMP Buruh 5,1 Persen Langgar UU Cipta Kerja
Apalagi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata sumbangan pertumbuhan konsumsi rumah tangga daerah DKI Jakarta selama 6 tahun terakhir terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga nasional mencapai 18,95%.
Baca juga: Said Iqbal Puji Anies Baswedan yang Naikkan UMP DKI 5,1 Persen: Sangat Cerdas
Baca Juga: Kemnaker Sayangkan Langkah Anies Baswedan Naikkan UMP DKI Jakarta 2022
Tentu ini akan menjadi angin segar bagi prospek pertumbuhan ekonomi karena konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak terbesar pertumbuhan ekonomi.
Bhima kemudian mengimbau, langkah peningkatan UMP ini kemudian ditiru dan diikuti oleh kepala-kepala daerah lainnya. Sehingga, pemulihan akan semakin terasa.
Baca juga: Buruh: Revisi Kenaikan UMP Harusnya Dilakukan Semua Gubernur di Indonesia
Selain berpotensi meningkatan pertumbuhan ekonomi, Bhima memandang, kenaikan UMP ini akan melindungi masyarakat pekerja dari peningkatan inflasi di tahun 2022.
Bhima khawatir, inflasi pada tahun depan bisa tembus 5%, alias di atas kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 3% plus minus 1%. Peningkatan inflasi yang sangat signifikan ini dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama, potensi kenaikan tarif listrik dan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi melihat perkembangan harga minyak mentah dunia alias tren peningkatan harga energi.
Kedua, potensi peningkatan harga inflasi pangan karena ancaman persediaan dari cuaca ekstrem, badai LaNina, serta peningkatan harga internasional yang memengaruhi barang-barang pangan seperti contohnya minyak goreng.
Ketiga, peningkatan harga imported inflation karena efek pengurangan penambahan likuiditas (tapering off) dari bank-bank sentral yang memberi tekanan eksternal pada nilai tukar rupiah. Ini pun memengaruhi harga-harga barang yang diimpor.
Keempat, tren kenaikan suku bunga bisa mendoorng terjadi inflasi karena ada peningkatan cost of borrowing. Pengusaha pun bisa saja meneruskan ini pada konsumen.
Kelima, kebijakan peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% dan juga ada potensi kenaikan cukai rokok yang tentu saja ini akan memberikan sumbangan kepada peningkatan inflasi.
“Jadi, peningkatan UMP ini akan melindungi pekerja yang rentan dari peningkatan inlfasi tersebut. Karena kalau inflasi meningkat, bisa saja ada imbas yang cukup signifikan terhadap penurunan daya beli, khususnya daya beli kelas menengah,” tandas Bhima.