Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maskapai penerbangan pelat merah Garuda Indonesia, saat ini masih mengalami kinerja keuangan yang tidak baik.
Hal tersebut mulai terlihat saat Perseroan berkode saham GIAA ini diketahui memiliki utang senilai Rp 70 triliun.
Direktur Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, utang yang menggunung dan belum bangkitnya kinerja Perseroan hingga akhir tahun ini disebabkan oleh berbagai banyak hal yang kompleks.
Sudah jatuh tertimpa tangga, baru-baru ini GIAA juga mendapatkan kabar tidak baik, yakni berpotensi delisting atau penghapusan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Baca juga: Mantan Menteri BUMN Sebut Garuda Berpotensi Dinyatakan Bangkrut Dalam Hitungan Hari
Berikut kaleidoskop polemik Garuda Indonesia selama di 2021.
Mengembalikan Sejumlah Armada Pesawat ke Leasing, (Februari 2021)
Garuda Indonesia mengklaim mengalami kerugian imbas dari pengoperasian pesawat-pesawat, salah satunya tipe Bombardier CRJ1000. Sehingga manajemen mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ1000 ke perusahaan leasing Nordic Aviation Capital (NAC).
Menurutnya, selama 8 tahun operasional, perseroan mengalami kerugian rata-rata 30 juta dollar AS per tahun akibat penggunaan pesawat jenis tersebut.
"Selama 8 tahun operasi, kinerja operasional penggunaan pesawat ini tidak menghasilkan keuntungan tetapi menciptakan rugi yang cukup besar buat Garuda," ucap Irfan.
Garuda Indonesia Terlilit Utang Rp 70 Triliun, (Mei 2021)
Informasi terkait kondisi keuangan Garuda Indonesia yang tidak sehat bocor ke publik.
Seperti dilansir Bloomberg, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan, bahwa Garuda memiliki utang sekitar Rp70 triliun atau setara 4,9 miliar dollar AS.
Angka tersebut meningkat sekitar Rp1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.
Baca juga: Respon Direktur Utama Garuda Indonesia Terkait Potensi Delisting di BEI
Hal tersebut imbas dari menurunnya jumlah penumpang pesawat akibat pandemi Covid-19, banyaknya jumlah armada pesawat sehingga tidak efisien, hingga dampak pengelolaan keuangan yang buruk di masa kepemimpinan Direksi Garuda Indonesia di masa lalu.