TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kejutan di awal tahun 2022, pemerintah resmi melarang ekspor batubara dan berlaku sejak 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022.
Kebijakan tersebut ditempuh pemerintah akibat defisit pasokan batubara untuk sektor kelistrikan dalam negeri.
Akibatnya, aturan ini pu membuat pengusaha memprotesnya, karena penghasilan mereka jelas akan berkurang.
Sementara pengamat ekonomi mengingatkan, kebijakan tersebut bakal berengaruh terhadap ekonomi.
Baca juga: Gus Falah Minta Kementerian ESDM Tinjau Ulang Larangan Ekspor Batubara
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, larangan ekspor batubara ini mampu memberikan dampak pada perekonomian negara.
“Terutama dari sisi penerimaan negara dan juga dari sisi ekspor. Bisa ada kehilangan besar,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (2/1/2022).
Bhima kemudian memerinci, dari sisi penerimaan, larangan batubara ini berpotensi mengkerdilkan penerimaan negara terutama dari Pajak Penghasilan (PPh) ekspor.
Baca juga: Harga Jual Batubara untuk Listrik Dipatok 70 dolar AS per Ton, Ini Penjelasan Kementerian ESDM
Apalagi, Indonesia pernah mengecap manis penerimaan pajak yang tembus 100% target pada tahun 2021. Bhima bilang, ini banyak disumbang dari windfall kenaikan permintaan batubara.
Dari sisi ekspor, Bhima melihat batubara menyumbang sekitar 15% dari total ekspor non migas di sepanjang Januari 2021 hingga November 2021.
Bila pelarangan batubara dilakukan secara total, Indonesia bisa kehilangan ekspor bahkan hingga US$ 4,1 miliar per bulan. Bahkan, ada potensi neraca perdagangan barang Januari mencetak defisit setelah selama 19 bulan berturut-turut mendulang untung.
“Neraca perdagangan Januari 2021 bisa defisit US$ 50 juta hingga US$ 80 juta. Padahal biasanya mencetak surplus yang signifikan, akhir-akhir ini bahkan di kisaran US$ 3 miliar hingga US$ 5 miliar,” tandas Bhima.
Kadin Minta Tinjau Ulang
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, keputusan pemerintah tersebut sepihak dan tergesa-gesa. Untuk itu, KADIN meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut.
Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid kemudian menyiratkan, keputusan pemerintah ini nantinya bisa menjadi batu sandungan bagi progres pemulihan ekonomi. Apalagi, pemulihan ekonomi sempat cepat karena komoditas.