TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga minyak goreng melejit belakangan ini. Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum menemukan adanya dugaan kartel penyebab naiknya harga minyak goreng yang terjadi belakangan ini.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, KPPU melihat dari dua sisi untuk menganalisis problem penyebab naiknya harga minyak goreng. Yakni dari sisi kebijakan pemerintah dan perilaku perusahaan.
"Terkait apakah ada pelanggaran persaingan usaha atau tidak, kami akan terus mendalami," kata Ukay dalam konferensi pers virtual, Kamis (20/1/2022).
Ukay mengapresiasi solusi jangka pendek pemerintah melalui subsidi harga minyak goreng.
Namun, pemerintah mesti menetapkan strategi jangka panjang untuk mengantipasi kenaikan harga minyak goreng.
"Harus ada penataan regulasi agar industri hilir sawit dalam hal ini pabrik minyak goreng harus tumbuh, tidak hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar saja," kata Ukay.
Baca juga: Diduga Lakukan Praktik Kartel Harga Minyak Goreng, Berikut Jawaban GIMNI
Berdasarkan penelitian KPPU, beberapa pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng adalah pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO (crude palm oil) hingga produsen minyak goreng.
Baca juga: YLKI: Ada Indikasi Kartel Melambungnya Harga Minyak Goreng
Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Renamanggala mengatakan, CPO sebagai komoditas global akan menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku.
Padahal sejumlah produsen minyak goreng masih dalam satu kelompok usaha dengan pengekspor CPO.
Baca juga: Banyak Kartel Pangan, Wakil Ketua MPR Pertanyakan Implementasi Kebijakan Pertanian
"Kami bisa melihat apakah nanti apabila ditemukan kami akan memanggil pelaku usaha - pelaku usaha yang dominan meminta data-data produksi minyak goreng dan biaya inputnya," ujar Mulyawan.
Praktik Kartel dan Oligopoli
Sebaliknya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengendus dugaan terjadinya praktik kartel di balik meroketnya minyak goreng di Indonesia.
Harga minyak goreng melambung dari sekitar Rp 11.000/kg menjadi Rp 20.000-an/liter dalam tiga bulan terakhir. Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global.
Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyebutkan ada beberapa indikasi perilaku kartel di balik kenaikan harga minyak goreng di negara pengekspor sawit terbesar dunia ini.
"Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," kata Tulus saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (12/1/2022).
Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.
Indikasi kartel paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng, lanjut Tulus, adalah kenaikan harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan.
Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.
"Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen," terang Tulus.
Kalau pun kenaikan harga dipicu lonjakan permintaan, hal itu bukan alasan mengingat Natal dan Tahun Baru (Nataru) sudah berlalu, namun harga minyak goreng masih saja tinggi.
Terlebih, Indonesia adalah negara produsen sawit terbesar di dunia. Untuk pasar ekspor, produsen minyak sawit bisa berpatokan pada harga internasional.
Harga minyak CPO di pasar dunia yang tengah melonjak, tidak bisa jadi alasan untuk menaikkan harga minyak goreng yang dijual di dalam negeri.
Harga minyak goreng harus mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik.
Jangan harga internasional untuk nasional," ujar Tulus. Dia menegaskan, menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai hak konsumen.
Asbun
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai, tuduhan praktik kartel minyak goreng sama-sekali tidak benar.
“GIMNI melihat bahwa sebutan kartel itu ada bagi mereka yang hanya tahu dan berkecimpung di pasar DN (dalam negeri) saja, dan kurang pengetahuan bahwa minyak sawit itu adalah produk dunia yang punya pangsa pasar terbesar,” katanya kepada Kontan, Minggu (16/1/2022).
Sahat menilai bahwa adanya isu kartel ini tidak ada, karena dalam pengamatan GIMNI sehari-hari dan di lapangan, ia tidak melihat adanya kartel yang memainkan harga migor sehingga harganya melonjak.
Ia bahkan menilai isu ini asal bunyi atau asbun.
“Dari produksi sawit Indonesia yang mencapai 51,16 juta ton itu 65,2% adalah pasar LN (luar negeri). Pemakaian domestik, termasuk biodiesel, hanya 34,8%.
Melihat dominasi pasar ekspor, di mana rumusnya ada kartel? kecuali kita yang memang hobi bikin isu,” ungkap Sahat.
Terlalu Banyak Aturan
KPPU menilai regulasi pemerintah saat ini belum mendorong adanya pertumbuhan industri minyak goreng dengan banyaknya aturan yang membatasi dan mengurangi persaingan usaha.
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 mewajibkan industri pengolahan hasil perkebunan (termasuk minyak goreng) yang harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri.
"KPPU sendiri telah mengirimkan surat saran pertimbangan agar kebijakan ini dicabut karena akan mengurangi persaingan," ucap Mulyawan.
Kemudian, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 46 Tahun 2019 tentang pemberlakuan standar nasional Indonesia minyak goreng sawit secara wajib.
Aturan tersebut mewajibkan SNI dan kandungan vitamin A dalam minyak goreng.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengatakan, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPBD KS) sudah menyiapkan dana sebesar Rp 7,6 triliun yang akan digunakan untuk membiayai penyediaan minyak goreng kemasan bagi masyarakat, sebesar 250 juta liter per bulannya, atau setara 1,5 miliar liter per bulannya.
"Saya juga menghimbau kepada masyarakat untuk tidak perlu panic buying atau membeli secara berlebihan, karena pemerintah sudah menjamin bahwa pasokan dan stok minyak goreng Rp 14.000 per liter sudah pasti dapat mencukupi kebutuhan masyarakat, pemerintah" terang Lutfi.
Mendag menegaskan bagi semua pihak yang melakukan kecurangan atau penyelewengan minyak goreng murah akan dibawa ke meja hijau.
"Kami ingatkan kepada siapapun yang melakukan kecurangan atau melakukan apa pun tindakan melawan hukum Pemerintah RI akan melanjutkan ke proses hukum," tandas dia.
Rencananya, kebijakan harga minyak goreng Rp 14.000 per liter ini berlaku selama 6 bulan ke depan. Pada Juni 2022 nanti, Kementerian Perdagangan akan mengevaluasi lagi kebijakan harga minyak goreng tersebut.ng. KPPU menilai kandungan vitamin A bisa didapatkan dalam makanan.
Aturan tersebut dinilai menjadi salah satu hambatan munculnya pelaku usaha baru, baik pelaku usaha lokal atau kecil dan menengah dalam industri minyak goreng.
Oleh karena itu, KPPU meminta pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil.
Dengan semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi vertikal.
"Untuk menjamin pasokan CPO, perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan," kata Mulyawan.
Laporan Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Sumber: Kontan