News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Empat Raja Minyak Goreng Indonesia Kuasai 46,5 Persen Pangsa Pasar Nasional

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga membeli minyak goreng kemasan di Toko Sembako Cahaya Prabu, di kawasan Cibodas, Kota Tangerang, Rabu (19/1/2022). Pemerintah mulai hari ini menerapkan 1 harga minyak goreng sebesar Rp 14 Ribu/liter. Warga menyambut gembira penerapan 1 harga ini, namun sayangnya penjualannya masih terbatas di tempat tertentu saja. WARTA KOTA/NUR ICHSAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Sebanyak empat produsen besar minyak goreng Indonesia saat ini menguasai 46,5 persen pasar minyak goreng.

Karenanya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai hal tersebut telah memicu terjadinya konsentrasi usaha di bisnis minyak goreng nasional karena pasar sebesar itu hanya dikendalikan oleh empat produsen besar.

Hasil penelitian KPPU juga mengungkap, pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO, hingga produsen minyak goreng.

“Dari hasil penelitian, KPPU melihat bahwa terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng," ungkap Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, dalam keterangan resminya pekan lalu.

Turunnya harga minyak goreng kemasan seharga Rp14 ribu per liter disambut gembira para ibu-ibu di kota Medan. (TRIBUN MEDAN/KARTIKA)

"Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng,” imbuh Ukay Karyadi.

Ukay menjelaskan, sebaran pabrik minyak goreng saat ini pun tidak merata, karena sebagian besar pabrik berada di Pulau Jawa, tidak menyebar di wilayah perkebunan kelapa sawit.

“Padahal ketergantungan pabrik minyak goreng akan pasokan CPO menjadi sangat besar,” katanya.

Penelitian ini datang dari adanya indikasi kartel yang diungkapkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dari tingginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu yang mencapai Rp 20.000 per liter.

Sampai pada akhirnya pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuat aturan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Tak Sesuai Kebijakan Pemerintah? Masyarakat Bisa Mengadu di Hotline Kemendag

Penetapan satu harga pada minyak goreng tersebut dinilai KPPU bagus dalam jangka pendek, tetapi di jangka panjang belum dapat menyelesaikan persoalan industri yang diwarnai oleh tingginya konsentrasi pelaku usaha yang terintegrasi dan kebijakan yang belum mendorong peningkatan jumlah pelaku usaha di industri tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, KPPU menyarankan agar Pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil.

Baca juga: Pedagang Merasa Dianaktirikan, Mendag Berjanji Minyak Goreng Satu Harga Dijual di Pasar Tradisional

Ukay mengungkapkan, bahwa semakin banyaknya pelaku usaha, diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang berintegrasi secara vertikal.

“Untuk menjamin pasokan CPO, KPPU menyarankan agar perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan,” katanya.

KPPU secara umum berharap harga pasar dapat berjalan sesuai hukum pasar dan tidak dipengaruhi adanya kartel atau kesepakatan akan tetapi hukum supply and demand, dan berharap pemerintah mendorong pelaku usaha yang tidak terafiliasi.

“KPPU akan terus mendalami berbagai alat bukti atas permasalahan industri ini,” ungkapnya.

Sebaran pabrik minyak goreng juga dilihat tidak merata. Di mana sebagian besar pabrik berada di pulau Jawa dan tidak berada di wilayah perkebunan kelapa sawit. Padahal ketergantungan pabrik minyak goreng akan pasokan CPO menjadi sangat besar.

Seperti diketahui, akibat harga minyak goreng yang teramat mahal, pekan lalu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan kebijakan satu harga untuk minyak goreng menjadi Rp 14.000 per liter pada pasar ritel.

Kebijakan ini menurut Lutfi juga akan digulirkan untuk harga minyak goreng yang dijual di pasar-pasar tradisional.

Untuk pembelian minyak goreng dengan harga Rp 14.000 di ritel-ritel modern, setiap konsumen hanya diperbolehkan membeli maksimal dua kemasan.

Dalam paparan saat konferensi pers Kamis (20/1/2022) lalu, komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, KPPU melihat dari dua sisi untuk menganalisis problem penyebab naiknya harga minyak goreng. Yakni dari sisi kebijakan pemerintah dan perilaku perusahaan.

Baca juga: Lihat Ada Sinyal Kartel Harga Minyak Goreng, KPPU: Kompak Naiknya

"Terkait apakah ada pelanggaran persaingan usaha atau tidak, kami akan terus mendalami," kata Ukay.

Ukay mengapresiasi solusi jangka pendek pemerintah melalui subsidi harga minyak goreng. Namun menurutnya, pemerintah mesti menetapkan strategi jangka panjang untuk mengantipasi kenaikan harga minyak goreng.

"Harus ada penataan regulasi agar industri hilir sawit dalam hal ini pabrik minyak goreng harus tumbuh, tidak hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar saja," kata Ukay.

Berdasarkan penelitian KPPU, beberapa pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng adalah pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO (crude palm oil) hingga produsen minyak goreng.

Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Renamanggala mengatakan, CPO sebagai komoditas global akan menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku.

Padahal sejumlah produsen minyak goreng masih dalam satu kelompok usaha dengan pengekspor CPO.

"Kami bisa melihat apakah nanti apabila ditemukan kami akan memanggil pelaku usaha - pelaku usaha yang dominan meminta data-data produksi minyak goreng dan biaya inputnya," ujar Mulyawan.

Praktik Kartel dan Oligopoli

Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengendus dugaan terjadinya praktik kartel di balik meroketnya minyak goreng di Indonesia.

Harga minyak goreng melambung dari sekitar Rp 11.000/kg menjadi Rp 20.000-an/liter dalam tiga bulan terakhir. Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global.

Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyebutkan ada beberapa indikasi perilaku kartel di balik kenaikan harga minyak goreng di negara pengekspor sawit terbesar dunia ini.

"Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," kata Tulus saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (12/1/2022).

Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Indikasi kartel paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng, lanjut Tulus, adalah kenaikan harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan.

Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.

"Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen," terang Tulus.

Kalau pun kenaikan harga dipicu lonjakan permintaan, hal itu bukan alasan mengingat Natal dan Tahun Baru (Nataru) sudah berlalu, namun harga minyak goreng masih saja tinggi.

Terlebih, Indonesia adalah negara produsen sawit terbesar di dunia. Untuk pasar ekspor, produsen minyak sawit bisa berpatokan pada harga internasional.

Harga minyak CPO di pasar dunia yang tengah melonjak, tidak bisa jadi alasan untuk menaikkan harga minyak goreng yang dijual di dalam negeri.

Harga minyak goreng harus mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik.

Jangan harga internasional untuk nasional," ujar Tulus. Dia menegaskan, menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai hak konsumen.

Asbun

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai, tuduhan praktik kartel minyak goreng sama-sekali tidak benar.

“GIMNI melihat bahwa sebutan kartel itu ada bagi mereka yang hanya tahu dan berkecimpung di pasar DN (dalam negeri) saja, dan kurang pengetahuan bahwa minyak sawit itu adalah produk dunia yang punya pangsa pasar terbesar,” katanya kepada Kontan, Minggu (16/1/2022).

Sahat menilai bahwa adanya isu kartel ini tidak ada, karena dalam pengamatan GIMNI sehari-hari dan di lapangan, ia tidak melihat adanya kartel yang memainkan harga migor sehingga harganya melonjak.

Ia bahkan menilai isu ini asal bunyi atau asbun.

“Dari produksi sawit Indonesia yang mencapai 51,16 juta ton itu 65,2% adalah pasar LN (luar negeri). Pemakaian domestik, termasuk biodiesel, hanya 34,8 persen. Melihat dominasi pasar ekspor, di mana rumusnya ada kartel? kecuali kita yang memang hobi bikin isu,” ungkap Sahat.

Laporan Reporter: Achmad Jatnika

Sebagian artikel ini tayang di Kontan dengan judul KPPU: 4 Produsen Minyak Goreng Dominasi 46,5% Pasar Minyak Goreng Indonesia

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini