“Eskalasi Rusia-Ukraina punya imbas ke inflasi di indonesia lebih tinggi dalam beberapa bulan ke depan. Harga minyak yang liar akan menekan pemerintah untuk segera menaikan harga BBM maupun tarif listrik,” ucap Bhima saat ditanya Tribunnews, Senin (14/2/2022).
Dirinya mengungkapkan, impor BBM Indonesia terbilang besar. Berdasarkan catatannya, nilainya menembus angka 14,3 miliar dolar AS di 2021, atau setara Rp204,9 triliun (asumsi kurs Rp14.331 per dolar AS).
Lanjut Bhima, jika harga minyak dunia terus mengalami peningkatan dan Indonesia tetap impor kebutuhan energi, maka Pemerintah wajib memilih 3 pilihan yang berat.
Pertama, Pertamina dan PLN yang merupakan BUMN energi harus mau menanggung rugi.
Dimana 2 perusahaan pelat merah tersebut harus membeli minyak ataupun gas (impor) dengan harga tinggi, dan kemudian harus menjual ke masyarakat dengan harga seperti sekarang ini.
Baca juga: Konflik Rusia Ukraina Memanas, Vladimir Putin Menambah Pasukan di Perbatasan
Kedua, Pemerintah harus menambah anggaran untuk subsidi energi di APBN, padahal di saat yang bersamaan Pemerintah tengah mendorong pemulihan ekonomi nasional imbas pandemi Covid-19. Dan anggaran tersebut bukanlah uang yang kecil.
Pilihan yang ketiga adalah, Pemerintah tidak mengucurkan subsidi dan membiarkan masyarakat membeli kebutuhan energinya dengan harga yang mahal.
“Problemnya impor BBM indonesia sangat besar 14,3 miliar dolar AS di 2021. Tahun lalu saja sudah naik 74 persen. Kalau terus berlanjut tinggal kuat-kuatan saja, apakah pertamina dan PLN mau tanggung rugi, subsidi energi APBN ditambah, atau tarif energi dilepas ke harga pasar,” jelas Bhima.
“Kenaikan Rp1.000 per liter BBM non subsidi saja akan picu inflasi lebih dari 5 persen. Inflasi akan jadi musuh yang hambat pemulihan daya beli,” pungkasnya.