TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Bank Maybank Indonesia, Tbk. (Maybank Indonesia atau Bank) hari ini mengumumkan Laba Bersih Setelah Pajak dan Kepentingan Non Pengendali (PATAMI) Konsolidasian sebesar Rp1,64 triliun untuk tahun keuangan yang berakhir 31 Desember 2021, naik 29,9% dari Rp1,27 triliun pada tahun sebelumnya. Kinerja tersebut didukung oleh biaya provisi yang rendah, efisiensi biaya bunga dan biaya overhead, serta kinerja positif Unit Usaha Syariah (UUS), bertepatan dengan momentum perekonomian yang mulai berangsur pulih di tengah masih terjadinya pandemi Covid-19.
Net Interest Income (NII), atau Pendapatan Bunga Bersih turun 2,0% menjadi Rp7,12 triliun per Desember 2021, dari Rp7,26 triliun pada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan kredit yang lebih rendah dan tren yield kredit (loan yield) yang menurun, sejalan dengan penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia serta restrukturisasi kredit nasabah yang sedang berlangsung akibat pandemi. Namun demikian, Net Interest Margin (NIM), atau Marjin Bunga Bersih naik sebesar 14 basis poin menjadi 4,7% di Desember 2021, sehubungan dengan perbaikan biaya dana (cost of funds) dan pertumbuhan CASA yang kuat.
Fee-based income turun 12,1% menjadi Rp2,09 triliun pada Desember 2021 dari Rp2,38 triliun pada tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh menurunnya pendapatan fee transaksi Global Market. Namun, Bank mampu untuk mempertahankan momentum pertumbuhan dengan memperkuat basis pendapatan ritel, seperti di antaranya, Bancassurance, yang tumbuh 26,9% menjadi Rp201 miliar pada Desember 2021 dari Rp158 miliar pada tahun sebelumnya.
Meskipun pendapatan bunga bersih Bank mengalami tekanan, dan pendapatan fee-based menurun, Bank masih dapat membukukan laba bersih (PATAMI) yang tumbuh hampir 30%. Pencapaian ini didukung oleh biaya provisi yang menurun, oleh karena Bank telah melakukan pencadangan lebih awal di beberapa tahun sebelumnya, dan diikuti dengan biaya overhead yang terkendali.
Sejak 2020, Maybank Indonesia mengambil langkah konservatif, dan secara proaktif mencadangkan provisi pada portofolio di seluruh segmen bisnis, di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Bank terus mendampingi debitur yang masih menghadapi tantangan dengan menerapkan program restrukturisasi kredit untuk tetap menjaga kualitas aset Bank. Upaya proaktif Bank dengan mencadangkan provisi dan dampak positif dari penerapan program restrukturisasi tersebut, telah berkontribusi kepada penurunan biaya provisi sebesar 25,8% menjadi Rp1,54 triliun.
Bank mencatat rasio Non-Performing Loan (NPL) (Konsolidasian) menjadi 3,7% (gross) dan 2,6% (net) pada Desember 2021, dari 4,0% (gross) dan 2,5% (net) pada Desember 2020, didukung penurunan saldo NPL sebesar 10,8%.
Sementara itu, rasio Loan at Risk (LAR Bank saja) membaik ke level 18,0% pada Desember 2021 dari 21,5% di tahun sebelumnya. Perbaikan tingkat Loan at Risk (LAR Bank saja) didukung oleh kualitas kredit yang kembali menjadi lancar atas peran aktif Bank dalam proses pemantauan dan restrukturisasi kredit nasabah.
Bank terus menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent banking) dan mempertahankan risk posture pada tingkat yang sehat untuk memastikan kualitas aset tetap terjaga.
Dari sisi overhead, Bank juga berhasil mengendalikan biaya overhead secara efektif sehingga turun sebesar 4,2% menjadi Rp5,47 triliun pada Desember 2021, sebagai hasil dari pengelolaan biaya yang intensif serta efektif di seluruh lini bisnis dan operasional Bank, serta memastikan agar setiap biaya yang dikeluarkan dapat berkontribusi kepada peningkatan pendapatan Bank.
Di tengah berlangsungnya pandemi, Bank tetap menerapkan risk appetite yang konservatif pada penyaluran kredit yang disetujui untuk menjaga kualitas aset. Total kredit Bank turun 3,3% menjadi Rp101,77 triliun dari Rp105,27 triliun di tahun 2020, namun bertumbuh 3,0% secara kuartalan, sejalan dengan berangsurnya pemulihan ekonomi dan perbaikan kinerja kredit nasabah yang diikutsertakan ke dalam program restrukturisasi. Hal ini tercermin terutama pada kredit segmen Global Banking yang tumbuh 1,4% menjadi Rp35,00 triliun di tahun 2021 dari Rp34,50 triliun di tahun 2020.
Meskipun total kredit segmen Community Financial Services (CFS) mengalami penurunan sebesar 5,6% menjadi Rp66,78 triliun secara tahunan, secara kuartalan kredit segmen CFS tumbuh positif sebesar 2,4%, ditopang pertumbuhan kredit CFS Non-Ritel dan CFS Ritel. Sementara, Kredit CFS Non-Ritel turun 11,6% secara tahunan, tetapi tumbuh 1,3% secara kuartalan. Demikian juga kinerja segmen kredit CFS Ritel yang tumbuh 3,4% secara kuartalan di seluruh lini bisnis di segmen tersebut. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terus bertumbuh positif sebesar 9,0% secara tahunan dan 3,1% secara kuartalan menjadi Rp15,28 triliun di tahun 2021, yang sekaligus menjadi motor penggerak pertumbuhan kredit di segmen CFS Ritel.
Total simpanan nasabah relatif stabil secara tahunan tetapi bertumbuh 12,8% secara kuartalan. Profil pendanaan Bank terus menguat di sepanjang 2021, didukung strategi Bank untuk mempertahankan likuiditas yang kuat dan pendanaan yang efisien dengan mengurangi simpanan berbiaya tinggi, serta mengoptimalkan layanan perbankan digital Bank untuk menghimpun simpanan nasabah.
Bank mampu meningkatkan CASA sebesar 18,5% menjadi Rp54,26 triliun pada Desember 2021 dari Rp45,79 triliun pada tahun sebelumnya. Bank juga berhasil menurunkan simpanan berjangka (time deposits) sebesar 12,4% dari Rp69,22 triliun menjadi Rp60,63 triliun pada Desember 2021. Sementara, rasio CASA Bank meningkat menjadi 47,2% dari total simpanan nasabah pada Desember 2021, dibandingkan 39,8% pada tahun sebelumnya.
Dengan pencapaian tersebut, maka posisi likuiditas Bank tetap kuat dengan rasio Kredit terhadap Simpanan/Loan to Deposit Ratio (LDR Bank saja) berada di posisi yang sehat, pada level 76,3%. Sementara, Rasio Kewajiban Pemenuhan Kecukupan Likuiditas/Liquidity Coverage Ratio (LCR Bank saja), tercatat sebesar 183,2% pada Desember 2021, dan berada di atas tingkat minimum yang diwajibkan regulator yakni sebesar 100,0%.