News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Harga Kedelai tak Terkendali

Mengapa Kasus Mogok Perajin Tempe Tahu Terjadi Berulang-ulang dan Petani Enggan Tanam Kedelai?

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja membersihkan peralatan produksi pada hari pertama mogok produksi dan jualan tahu dan tempe di kawasan Sentra Pengrajin Tahu dan Tempe Cibuntu, Jalan Aki Padma, Kelurahan Babakan, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (21/2/2022). Libur produksi dan jualan yang dilakukan para pengrajin yang tergabung dalam Paguyuban Tahu - Tempe Jawa Barat terhitung dari 21 hingga 23 Februari 2022 tersebut sebagai dampak dari kenaikan harga bahan baku kedelai yang sudah menembus harga Rp 11.200 - Rp 11.500 per kg. Aksi ini juga sekaligus sebagai pemberitahuan kepada konsumen naiknya harga tahu dan tempe sebesar 10 hingga 15 persen. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Menurut catatan Trading Economics, harga kedelai telah menyentuh 16 dollar AS per gantang. Grafik harga cenderung meningkat sejak November 2021 atau setelah sempat turun hingga 11,66 dollar AS per gantang.

Sementara harga tertinggi tahun lalu mencapai 16,61 dollar AS per gantang, pada 12 Mei 2021. Harga kedelai di tingkat importir Indonesia pada pekan pertama Februari 2022 mencapai Rp 11.240 per kg.

Di tingkat produsen tahu dan tempe di DKI Jakarta, harga kedelai impor mencapai Rp 12.000 per kg. Dengan harga kedelai sebesar itu, sebagian produsen tahu tempe memilih berhenti produksi untuk sementara.

Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Subejo, berpendapat, naiknya harga kedelai impor yang berimbas pada produksi tahu tempe di Tanah Air adalah persoalan yang berulang tiap tahun.

Produksi kedelai dalam negeri memang tidak mencukupi kebutuhan. Akan tetapi, perlu ada pembenahan dari hulu ke hilir.

”Dari produksi, teknologi dan inovasi, serta sumber daya lokal penting untuk terus dikembangkan. Sementara dari tata niaga di hulu, bagaimana agar petani lebih terjamin dengan harga penjualan yang baik. Jika tidak demikian, petani tidak semangat untuk memproduksi kedelai yang berkualitas,” ujarnya.

Indonesia pernah swasembada kedelai

Menilik ke belakang, sebagai negeri yang masyarakatnya mengonsumsi tempe dan tahu yang sangat besar, Indonesia sebenarnya pernah berhasil melakukan swasembada kedelai di era Orde Baru.

Di tahun 1990-1992, produksi kedelai Indonesia sempat mencapai 1,6 juta ton sampai 1,8 juta ton per tahun. Bandingkan dengan produksi kedelai saat ini yang sudah jauh merosot, berkisar 600.000 ton per tahun.

Kepala Divisi Ekofisiologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Holtikultura, Institut Pertanian Bogor, Munif Ghulamahdi mengatakan saat petani lokal bisa memproduksi kedelai sebesar itu, jumlah penduduk juga belum sebanyak saat ini.

"Saat itu kita hampir swasembada kedelai. Namun, jumlah penduduk Indonesia saat ini lebih banyak dibanding dulu, sehingga area tanam pun semakin berkurang," kata dia.

Faktor yang membuat Indonesia harus mengimpor karena produksi kedelai lokal semakin menurun. Di sisi lain, permintaan kedelai semakin naik dari tahun ke tahun.

Menurut Munif, minimnya produksi kedelai oleh para petani di Indonesia disebabkan karena harga kedelai yang tidak menentu. Oleh karena itu petani tidak terlalu melirik untuk menanam kedelai.

"Pada saat produksi kedelai di Indonesia meningkat, harga jualnya sangat minim, oleh karena itu harusnya ada pengamanan harga dari pemerintah supaya petani mau mengembangkan kedelai," katanya.

Menurutnya, apabila ingin meningkatkan produktivitas kedelai di Indonesia hingga swasembada, pemerintah harus meyakinkan petani terlebih dahulu.

"Saat produksi kedelai naik di Indonesia, biasanya dihargai murah. Mestinya pemerintah bisa membantu menjaga harga kedelai, karena kalau dibiarkan begitu saja petani jadi tidak yakin," katanya.

Selain menyusut akibat berkurangnya lahan tanam serta harga kedelai lokal yang tak ekonomis, kebijakan pemerintah yang melepaskan kendali dalam penetapan harga dan subsidi pada kedelai, secara perlahan membuat kebutuhan kedelai bergantung pada kedelai.

Pelepasan kendali pemerintah pada komoditas kedelai dilakukan sesuai dengan rekomendasi IMF (International Monetary Fund) saat krisis moneter tahun 1998 silam.

Sebagai informasi, pada 1998, sesuai kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) dengan IMF, peran Bulog sebagai pengelola persediaan dan harga beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya harus dilepaskan. Hanya beras yang masih bisa dikontrol oleh Bulog. (Kompas.com/Elsa Catriana/Erlangga Djumena/Muhammad Idris/Kontan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini