TRIBUNNEWS.COM – Papua, sebuah surga di ujung timur Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya. Salah satunya, sumber daya alam yang berasal dari laut. Dengan kekayaan lautnya, masyarakat Papua bisa hidup dengan mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharian.
Salah satunya, suku Kamoro yang menjadikan profesi nelayan sebagai pekerjaan untuk mengangkat kesejahteraan mereka. Melalui pendirian Koperasi Maria Bintang Laut oleh Keuskupan Timika, masyarakat suku Kamoro yang bertempat tinggal di pesisir Kabupaten Mimika, Papua, berhasil mengembangkan potensi ekonomi masyarakat.
Koperasi Maria Bintang Laut (KMBL) memiliki sekitar 120 anggota aktif nelayan yang berasal dari delapan kampung di Mimika, yaitu Koperapoka dan Nayaro (Distrik Mimika Baru); Nawaripi (Wania), Tipuka (Mimika Timur); serta Ayuka, Fanamo, Omawita, dan Otakwa (Mimika Timur Jauh).
Melalui koperasi, hasil laut tangkapan mereka dibeli dan disalurkan kepada mitra bisnis melalui satu pintu. Namun koperasi juga menghadapi tantangan dalam memenuhi kuota yang dibutuhkan.
Jumlah ikan yang disetor untuk diolah di pabrik ikan milik koperasi masih sangat sedikit dan tidak memenuhi kuota.
”Target pembelian kami dari masyarakat pesisir adalah 3 ton per bulan. Itu, kan, artinya 36 ton setahun. Tetapi, sepanjang 2021, yang kami kumpulkan dari mereka hanya 21 ton,” kata Agus Suryanata, koordinator lapangan KMBL, Kamis (17/3) sore, di depan pabrik ikan koperasi.
Pabrik milik koperasi terletak di dalam kompleks Keuskupan Timika tepat di area pusat kota Timika tersebut memang berjarak cukup jauh sekitar 40 km dari daerah pesisir terdekat di Pomako, Mimika Timur.
Namun, para nelayan Kamoro tak perlu jauh-jauh ke Timika. Agus mengatakan, KMBL telah menyediakan empat pusat pengumpulan ikan di pesisir, antara lain di Pomako dan Otakwa, sehingga para nelayan bisa segera menjual tangkapannya.
Adalah PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang logam yang sudah setengah abad beroperasi di Mimika, yang membantu para nelayan agar dapat memperoleh harga yang bersaing ketimbang di pasar umumnya yang menjadi mitra pembeli dari berbagai produk hasil laut yang ditangkap para nelayan.
Dengan kerja sama PTFI dan KMBL, berbagai komoditi bisa dimaksimalkan. Sebut saja, ikan kakap putih atau baramundi yang menjadi ikan primadona di Mimika, misalnya, bisa dihargai sampai Rp 35.000 per kilogram.
Hasil laut lainnya, seperti bobara, bandeng laut, dan kerapu tikus, dibeli senilai Rp 17.000 per kg lebih tinggi daripada harga umum Rp 12.000 per kg. Ikan yang dikumpulkan kemudian diolah menjadi steak atau filet. Adapun ikan lele laut alias manyung yang dihargai Rp 5.000-Rp 7.000 per kg akan diolah menjadi ikan asin jambal roti.
Sebagian besar hasilnya, terutama baramundi, bandeng, dan bobara, akan dikirim KMBL ke PT Pangansari Utama (PSU), kontraktor jasa boga yang melayani sekitar 32 ribu karyawan dan perusahaan mitra PTFI sesuai pesanan. Jika pasokan di pabrik KMBL berlebih, ikan pun dapat disimpan di gudang berpendingin (cold room) pabrik yang berkapasitas 40 ton.
KMBL sebenarnya mampu menjamin pemasukan konstan sekaligus keuntungan bagi para nelayan Kamoro anggota KMBL. Namun untuk tujuan memberdayakan dan memandirikan masyarakat secara ekonomi, kemudahan ini rupanya tak lantas dimanfaatkan dengan maksimal.
Sophia Tapilatu, penanggung jawab program perikanan Divisi Community Affairs PTFI yang mendampingi KMBL, mengakui ada berbagai faktor yang menyebabkan pasokan dari anggota koperasi begitu sedikit.
Faktor pertama adalah cuaca maritim perairan Mimika yang kerap dilanda ombak besar, hujan, dan angin kencang sepanjang tahun. Alhasil, para nelayan tidak berani menuju laut lepas dan hanya menangkap ikan di sungai-sungai dekat muara di pesisir. Apalagi, nelayan Kamoro memang sebenarnya adalah nelayan perairan dalam, tepatnya di sungai-sungai. ”Jadi, cuaca buruk bisa sangat memengaruhi produksi pabrik ikan KMBL,” kata Sophia.
Faktor kedua adalah adanya program dana desa atau proyek dari berbagai instansi yang gencar masuk ke desa-desa pesisir setahun terakhir. Proyek tersebut membuat masyarakat berhenti sementara menangkap ikan dan beralih ke pekerjaan lain.
”Ini juga yang menyebabkan pasokan ikan ke kami berkurang. Ketika tidak ada lagi pemasukan dari program lain, biasanya masyarakat baru keluar mencari ikan,” kata Sophia.
Menghidupkan bisnis
KMBL tetap harus memutar otak untuk bisa memenuhi permintaan PT PSU yang setidaknya 20 ton sebulan atau 240 ton setahun. Agus menjelaskan, sejak 2021, KMBL memiliki dua divisi, yaitu bisnis dan sosial, serta pemberdayaan masyarakat. Tujuannya, agar koperasi tetap bisa bertahan dalam bisnis perikanan sambil menjalankan pembinaan masyarakat pesisir.
Dalam hal bisnis, KMBL pun berusaha memenuhi pesanan PT PSU dengan membeli ikan dari pengepul-pengepul ikan di Timika dan kapal-kapal ikan di sepanjang pesisir Mimika. Bahkan, kata Agus, beberapa pengurus KMBL hari itu sedang menjajaki pembelian ikan dengan pengepul di Fakfak dan Kaimana, Papua Barat.
Meski demikian, pendampingan bagi para nelayan Kamoro terus berlanjut. Pada 2019, misalnya, sebagian dari dana investasi sosial Rp 94,77 miliar (6,7 juta dollar AS) dari PTFI dialokasikan untuk program perikanan lewat KMBL.
Mengantisipasi hal tersebut, Sophia mengatakan, KMBL dan PTFI tetap menyiagakan petugas di empat titik pengumpulan ikan setiap hari yang bertugas menimbang dan mentransportasikan ikan ke pabrik. Akses pasar melalui kontrak dengan PT PSU pun dipertahankan. Semua ini diiringi pula dengan pemberian keahlian, seperti membuat jaring, perahu, dan memperbaiki motor perahu.
”Biaya-biaya itu mungkin kita tidak hitung (dalam operasional koperasi). Semua disubsidi oleh Freeport lewat program perikanan ini. Jadi, masyarakat bisa mendapatkan keuntungan full dari ikan yang dijual ke koperasi. Ini murni program untuk kepentingan masyarakat,” papar Sophia.
Bernardus Irahewa (32), kepala Kampung Otakwa, menyebut KMBL mampu membawa perubahan pola hidup masyarakat. Kini, warga yang sebelumnya hanya mencari ikan sesekali untuk konsumsi sendiri perlahan mulai bisa beralih menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Para nelayan juga bisa menikmati fasilitas lainnya yang disediakan KMBL yang tentunya didukung oleh PTFI. ”Kami sekarang bisa menggunakan kotak penampungan ikan yang disediakan koperasi bersama-sama secara gratis,” kata Bernardus.
KMBL mulanya didirikan pada 2006 oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Timika untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi masyarakat Kamoro di pesisir yang mayoritas Katolik. Pada saat hampir bersamaan, PTFI sedang mencari mitra untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang terdampak limbah (tailing) dari pusat pengolahan bijih logam.
”Pimpinan kami, Bapa Uskup John Philip Gaiyabi Saklil Pr, mengatakan keuskupan bukan lembaga superpower yang bisa menangani semua kesulitan masyarakat. Kami harus bermitra dengan stakeholder lain yang punya visi dan tujuan yang sama,” kata Agus.
Alfons Ramidi yang membidangi Community Relations PTFI mengatakan, prioritas utama program perikanan saat itu adalah membentuk pola kenelayanan. Tujuan ini tidaklah mudah karena masyarakat Kamoro bukanlah nelayan pada umumnya yang mencari ikan di laut untuk kemudian diperdagangkan.
”Membentuk pola sangat penting karena, biasanya, para nelayan ini kalau sudah dapat uang banyak, mereka akan beristirahat lama. Yang kami inginkan, mereka terus melaut tanpa menunggu uangnya habis,” ujar Alfons.
Pada awal-awal program perikanan, tim KMBL dan PTFI berusaha mendorong nelayan rutin melaut dengan memberikan bahan bakar minyak sebelum mereka ke perairan di luar muara sungai untuk menebar jaring. Tangkapan segera dibeli sehingga nelayan langsung merasakan manfaatnya.
Di luar itu, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dilakukan melalui pembekalan keahlian dasar nelayan yang terus diberikan kepada masyarakat hingga saat ini. Namun, setelah 16 tahun berlangsung, KMBL dan PTFI masih harus menghadapi tantangan yang sama.
Tak hanya itu, tantangan di masa depan akan jauh lebih berat. Pada 2041, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI akan berakhir. Jika tidak diperpanjang, artinya PTFI akan pergi dari Mimika bersama aliran subsidi yang memungkinkan pendampingan bagi nelayan Kamoro terus berlangsung.
Kepergian PTFI juga akan berarti hilangnya permintaan dari PT PSU. Karena itu, keuskupan kini berusaha keras membangun jejaring kemitraan baru, dimulai dari pemerintah kabupaten.
”Di tahun 2023, kami harus sudah memiliki jalan keluar untuk penjualan selain kepada PT PSU. Gereja (keuskupan) akan tetap berusaha mempertahankan kesinambungan program ini demi masa depan masyarakat,” kata Agus.
Bantuan serta dukungan dari PTFI sangat berarti untuk keberlansungan nelayan di Mimika untuk tetap bisa melaut dan mendapatkan kesejahteraan ke depannya.